Kinan menutup matanya kuat-kuat. Masih tidak disangkanya bahwa ia akan melanjutkan petualangannya sendirian, dengan bekal keberanian yang tiap hari kian menipis. Apakah benar yang kupilih ini? Bagaimana kalau laki-laki yang mengaku bernama Hara itu adalah orang jahat? Tapi apakah orang jahat selalu mudah dipercaya? Apakah juga adalah hal yang benar kalau aku pergi tanpa menyisakan pamit untuk Pra? Tunggu dulu, mengapa tiba-tiba ia jadi topik penting sampai masuk dalam pertanyaan? Biarlah Pra dengan hidupnya. Aku mungkin tidak bisa memintanya untuk memilih, tapi aku bisa memilih untuk tidak ikut berantakan sebagaimana dirinya.
“Permisi?”
“Pencet saja belnya, Mbak.”
Kinan menoleh ke belakang. Seorang perempuan paruh baya duduk di teras sebuah rumah yang berada tepat di depan tempat indekosnya yang baru. Kinan lalu mengangguk, “Iya, Bu, terima kasih.”
Apa semua orang di sini ramah-ramah, ya? Kinan bergumam bingung. Sejak turun pesawat, orang-orang di sekelilingnya seperti memberinya panduan perjalanan. Tentang habis ini harus bagaimana, harus melangkah ke mana. Juga sewaktu tadi mau naik taksi, seorang bapak tua di sebelahnya berkata pelan, Naik bus umum saja, Mbak, sampai ketemu becak. Agak lama sih nunggunya, tapi lebih murah.
“Mbak Kinan, ya?”
“Iya, Pak..”
“Mari, silakan masuk. Nomor yang di internet itu nomor istri saya, kebetulan dia masih di luar,”
“Nggak apa-apa, Pak,”
“Biar saya saja yang bawa barang-barangnya,”
Awalnya, Kinan sempat gugup mengetahui bahwa Rina tidak punya kenalan sama sekali di Semarang. Tapi ia bilang, “Cari saja di internet.” Dan ternyata memang banyak hal sudah dimudahkan oleh teknologi. Ia menyewa sebuah kos murah di pusat kota Semarang. Dapat AC dan TV, walau salurannya cuma ada beberapa. Bahkan kamar mandinya di dalam.
“Ini kuncinya, ya, Mbak. Jam sepuluh malam biasanya pagarnya saya gembok, jadi kalau mau buka pakai kunci yang ini, yang ada goresan cat warna hijau,”
“Oh jadi setelah jam sepuluh nggak boleh keluar ya, Pak?”
“Yo, boleh, to. Cuma kalau keluar musti digembok dan kalau baru pulang juga digembok lagi.”
“Baik, Pak,”
“Yowes, kalau ada butuh apa-apa bilang saja, atau lewat sms juga ndak apa-apa. Selamat istirahat, Mbak Kinan,”
Kinan percaya bahwa hidup mempunyai rencanya sendiri, tapi yang namanya manusia selalu bisa menciptakan waktu yang tepat dalam tiap hal yang sempat. Dan itulah yang dilakukannya. Ketika pada akhirnya ia sadar bahwa roda yang sedang membebaninya itu tidak akan bergerak, bila ia sendiri tetap jalan di tempat. Hal baik atau buruk yang datang setelahnya akan jadi konsekuensi yang sudah ia setujui sebelumnya.
“Malam itu kita tidak sempat berkenalan. Saya Hara.”
Pada suatu sore, selang beberapa waktu setelahnya, Kinan kembali ke tempat itu. Saat itu, pembelaannya bukan tentang kebaikan yang harus dibayar lunas, tetapi ia tidak mau hidup dalam sebuah ketakutan. Ia kembali karena ia memilih untuk membawa kemungkinan yang bisa saja jadi takdir hidup yang harus diterimanya.
“Aku sudah tahu namamu,”
Dalam nada yang ramah, ia menyampaikan kekagumannya, “Kok sudah tahu? Kemarin saya tanya Barry, dia bilang belum mengenalkan saya padamu.”
“Barry?”
“Orang yang membuatmu takut, yang membuat pergelangan tanganmu merah.”
“Tidak sampai merah.”
“Tapi sampai membuatmu takut, kan?”
“Aku baru tahu namamu sekitar lima menit lalu,”
Seperti berusaha menunjukan darimana ia akhirnya mengetahui nama laki-laki itu. Kinan menoleh ke arah meja depan. Seorang penjaga dengan seragam seperti satpam tersenyum dan sedikit membungkukkan badannya. Ia belum pernah melihat sikap seorang karyawan kepada atasannya sebagaimana yang ia lihat sekarang. Sosok yang halus namun tegas. Ya, cuma itu yang bisa disimpulkannya ketika pertama kali bersemuka dengan Hara.
“Jangan melihat dari caranya bersikap pada saya, Kinan.”
“Aku tidak menilai apa pun. Tidak berhak juga.”
Hara bukan jenis orang yang menyukai perdebatan. Ia lebih akrab dengan kata mengalah daripada harus menguji siapa yang paling benar. Karena itulah ia tidak menanggapinya lagi. Tidak juga menyahut ke percakapan yang lain. Kedatangan Kinan sore itu seperti kiriman paket yang salah alamat. Hara cuma bisa menilainya dengan sosok perempuan cerdas namun pendiam. Dan ia menyukai sikap Kinan yang itu.
Ia mengambil sebatang rokok dari saku kemejanya, lalu menyalakannya. Kinan cuma diam dengan cukup lama memerhatikan sikap Hara yang begitu tenang. Tampaknya, Kinan juga berpikir tentang tempat di mana ia sedang berdiri sekarang. Sebuah kafe dengan konsep minimalis, dengan dinding bangunan luar yang dilapisi batu bata berwarna merah gelap. Di setiap sudut, terdapat pot-pot berisi tanaman hijau. Ah, pasti Pra tahu jenis apa tanaman-tanaman itu.Tempatnya memang tidak terlalu besar, tapi tata letak yang disusun rapi membuat kesan yang begitu nyaman. Kinan semakin dikuasai oleh rasa keingintahuannya.
“Jadi ini tempat apa?”
“Yang kau tahu ini tempat apa?”
“Entah. Hanya kalau sore begini, tidak begitu gelap.”
Hara tersenyum mendengar jawabannya. Pribadi yang keras namun mudah dikenali. Diputuskannya untuk tidak menyinggung hal-hal yang sudah tidak lagi jadi masalah. Bahkan sebenarnya, tanpa perlu dijelaskan, ia tahu mengapa malam itu Kinan memilih pergi dengan tatapan takut yang mengarah kepadanya. Bagaimana bisa baru sekarang?
Melihat adanya perubahan raut muka Hara setelah mendengar jawabannya, ia buru-buru menjelaskan maksud kedatangannya dengan sesingkat mungkin. Bahwa ia tidak bermaksud untuk bekerja seenak hati, bahwa segala hal yang terjadi di luar perkiraannya.
Kinan tampak lega setelah menyampaikannya. Seperti mengembalikan barang yang dipinjam dengan kondisi utuh. Tidak ada lecet. Tidak ada rusak. Seperti pertama kali barang itu sampai pada genggamannya.
“Saya senang kamu tidak minta maaf,”
“Kau menyindir?”
“Tidak. Itu sungguh-sungguh,” ucap Hara lembut sambil melanjutkan, “Tadinya saya khawatir kamu akan mengira sudah melakukan kesalahan, karena sebenarnya tidak. Tidak seharusnya Barry memperlakukanmu seperti itu.”
Kinan lantas diam. Ragu-ragu untuk menjawab. Ia takut salah bicara. Sebab, ketika mengetahui bahwa pemilik café tempat seharusnya ia bekerja dengan begitu baik menerima sikapnya, ia tidak mau mengulangi hal bodoh untuk kedualinya. Kinan sebenarnya sangat menyukai percakapan yang sedang berjalan di antara mereka, ia ingin berucap tentang apa saja yang saat itu muncul di kepalanya. Tetapi tidak, ia harus mengingat kembali siapa dirinya. Bukankah lancang untuk berbincang dengan seorang bos yang tangannya dihiasi jam mewah berwarna keperakan itu.
“Aku ke sini supaya tidak ada salah paham.”
“Memang tidak ada salah paham, Nan.”
“Itu menurutmu. Aku cuma tidak suka menyimpan perasaan hutang budi.”
“Kau tidak meminjam apa pun,”
Suara azan magrib terdengar. Kinan menengok keluar jendela dan langit memang sudah mulai gelap. Kalau ditanya masih adakah yang ingin disampaikannya, jawabannya tidak. Tapi kalau ditanya ia sudah ingin pulang atau tidak, jawabannya akan sederhana saja: Aku sebenarnya masih ingin menuntaskan banyak pertanyaanku di tempat ini. Tentang pukul berapa café ini buka. Tentang di mana Hara membeli batu bata yang merahnya begitu indah, tidak seperti batu bata pada umumnya. Tentang berapa harga jam tangan yang dipakainya. Tentang bagaimana ia tidak bernada marah sedikit pun, padahal yang kulakukan jelas menjengkelkan.
Pertanyaan yang mengejutkan. Ia tidak tahu darimana datangnya pertanyaan-pertanyaan itu. Walau cuma bersuara di dalam kepalanya, seketika itu pula ia kaku. Wajahnya berubah canggung. Untuk sejenak Kinan tidak tahu harus melakukan apa, padahal jelas sebelumnya ia tahu bahwa ia hanya perlu segera pulang.
“Magrib begini jangan melamun,” tegurnya lembut.
“Aku boleh gak ya gila sedikit?”
“Mau ngapain?”
“Masuk akal gak kalau aku minta satu kesempatan lagi?”
Hara segera mengerti. Dia diam sebentar, lalu mengutarakan sebuah penawaran.
“Kesempatan untuk bekerja atau untuk bernyanyi?”
“Maksudmu?”
“Saya yang sedang nanya maksudmu,” sambil tersenyum Hara menambahkan, “Bahkan saya belum tahu betul kamu ini bisa nyanyi atau tidak.”
Kinan tidak menyahut. Rasa bersalahnya baru datang sekarang. Ia membetulkan perasaan tidak enak itu. Harusnya kata maaf sudah cukup. Harusnya egoku tidak perlu diberi instruksi untuk jalan ke depan. Berlawanan dengan harapan besar yang ada di dalam dirinya, ia mengulangi kebodohannya. “Kalau tidak bisa tidak apa-apa. Harusnya aku sudah cukup senang kamu menerima maafku.”
“Minta maaf? Bukannya tidak ada maaf daritadi?”
Pertemuannya dengan Hara berujung pada kebingungan sekaligus pengertian. Ia seperti berada di sebuah labirin. Hara menciptakan jalan berliku-liku di antara percakapan mereka. Dan Kinan sudah berusaha untuk mempertajam pemahamannya agar dapat melihat apa yang sebenarnya coba Hara nyatakan, tapi tidak bisa. Kalimat-kalimat orang yang berkuasa yang tidak akan bisa kumengerti. Kalaupun aku mengerti, tidak ada gunanya juga. Kepentingan orang seperti Hara itu seperti instruksi sekali jalan. Jadi, mungkin mendengar semua perkataannya adalah perintah pertama yang harus kupatuhi.
Di sudut kegugupannya, Hara menjemputnya dengan sebuah pertimbangan.
“Kalau untuk memberimu kesempatan bernyanyi, saya tidak yakin, Nan,” ucapnya yang disambung dengan bujukan lembut, “Tapi kalau kesempatan yang lain saya mau. Mau sekali.”
***
Kita mungkin cuma ingin bahagia dan berbahagia. Segala bentuk kebendaan yang datang sesudahnya, cuma pemanis yang akan habis di batas waktu yang ada. Dan itu yang kerap kali tidak Kinan mengerti. Harusnya, jadi perihal yang masuk akal bila untuk sesekali ia memikirkan perkara kebahagiaannya sendiri. Seperti yang pernah ia bilang, “Pra, andai hidup bisa dicopot-pasang kayak batre, ya,”
“Maksudnya? Mati, terus hidup, terus mati lagi, gitu?”
“Mati, tapi pas hidup lagi jadi orang lain.”
Demikian tenangnya Kinan menjelaskan rekaan hidupnya yang rumit dengan kalimat yang begitu sederhana. Aku sayang dia. Aku mengasihi hidupnya lebih dari hidupku sendiri. Dulu aku memang senang mengetahui ada orang yang sama hancurnya denganku, tapi semakin lama mengenal Kinan, aku berharap lebih dari itu. Pra tahu bahwa cita-citanya itu akan jadi jurang curam yang siap menelannya, bahwa mimpi adalah kegelapan tanpa ujung. Ia tahu tidak seharusnya ia menaruh harap, terlebih pada satu orang yang paling mungkin mematahkan hatinya. Di antara celah untuk jalan ke depan atau berhenti, bila bisa bersama Kinan, maka lebih baik hidup dalam pengungsian daripada kembali pada tanah kelahiran.
“Jangan jadi batre deh, Nan, yang lain,”
“Jadi tahun saja kalau begitu, biar selalu berubah,”
“Bertambah tidak melulu berubah, Nan.”
“Terus apa dong?”
“Yang berubah itu pohon, yang tidak berubah itu tanah.”
Kebiasaan Pra mengutak-atik kata-kata tidak jarang membuat Kinan kesal. Bukan karena istilah-istilah yang tidak ia pahami, tapi karena semua itu tidak pernah ditulisnya. Dibiarkan hilang setelah diucapkan, direlakan habis setelah disampaikan. Dan tiap kali ditegur, jawabannya selalu sama, “Aku kan punya super memory.”
Kini, Kinan sudah tidak bisa membedakan dirinya ketika sedang menoleransi sifat-sifat Pra, dan ketika membenarkan perlakuannya. Jika Pra adalah tokoh yang hadir untuk mengusik kententeraman hidup seseorang, sungguhlah ia berhasil memerankannya. Lagipula, mau sampai kapan ia percaya pada memori di dalam kepalanya itu? Apa susahnya sih menulis? Apa dia tidak tahu caranya? Apa perlu aku?
“Jadi maksudmu… daripada jadi batre, lebih baik jadi tanah? Begitu?”
“Sekeliling kita pasti berubah, Nan, tapi tempat kita berpijak, termasuk diri kita sendiri, nggak boleh. Nggak boleh berubah. Karena kalau bumi aja berputar pada porosnya, kenapa kamu harus jadi orang lain cuma untuk menghidupi hidup? Pohon bisa selalu ditanam lagi, Nan, tapi tanah? Dia nggak boleh sampai habis. Sama aja kayak kamu. Yang namanya hari besok masih bisa dibangun lagi, selama kamu bisa jaga diri kamu sendiri.”
Suara ramai di sekitar pantai yang sejenak menjadi sunyi, membuatnya sadar bahwa di saat-saat tertentu, Pra mampu menyapu segala suara bising di bumi. Dan cuma dia yang bisa begitu.
“Tetangga Rina ada yang meninggal, Pra,”
“Kau mau ke sana sekarang?”
“Aku tidak mengajakmu,”
“Aku antar,” katanya tanpa ragu-ragu sambil melambaikan tangan ke arah Dawan, “Wan, pinjam motor!”
Pra benar. Yang berubah itu pohon, yang tidak berubah itu tanah. Maka, mungkin itu juga yang jadi salah satu alasan mengapa Kinan memelihara rutinitasnya berkunjung ke rumah duka, karena kematian adalah kehidupan terakhir yang tidak akan bisa berubah.
“Aku mau punya motor sendiri,” katanya sambil melihat Kinan di kaca spion motor.
“Ngapain? Nggak punya motor aja hidupmu sudah susah,” sahut Kinan sambil menambahkan, “Mending cara pekerjaan lain yang uangnya lebih pasti daripada nyari ikan.”
“Nanti, kalau aku sudah punya motor, aku yang nganterin kamu. Ke rumah duka mana pun, Nan, aku antar!”
“Males.”
“Kenapa?”
“Kalau orang yang meninggal gak kamu kenal? Atau gak aku kenal? Mana mau kamu nganterin aku,”
“Lah, ini sekarang aku lagi ngapain?”
Melihat gelagat Pra yang kesal, Kinan tertawa. Kalau urusan mengakhiri percakapan dengan nada menyebalkan, Kinan memang jagonya. Kira-kira dia setia benar tidak, ya? Kenapa tidak pernah diturutinya permintaanku untuk tenggelam di dasar laut? Toh, tidak ada yang akan mencariku. Bapak sudah punya anak lagi dari istri barunya. Sanak keluarga lain juga sedang susah dengan hidupnya masing-masing. “Apa kita menjemput kematian saja, Pra? Mungkin dosa besar yang kekal itu justru bisa menyelamatkan kita.”
“Sabarlah, Nan, biar yang itu Tuhan saja yang kerjakan.”
“Lantas, bagaimana dengan banyak penjahat yang memilih untuk menyerahkan dirinya sendiri, Pra? Apalagi kalau bukan karena merasa lebih hidup di penjara?”
“Jadi kau percaya surga?”
“Aku cuma tau kita sedang di neraka.”
Pra ingin sekali menyela ucapan Kinan dengan: Apa hadirku tidak sedikit pun membawa perubahan apa-apa, Nan? Mengapa kita masih saja di neraka? Apa karena selama ini kita tidak pernah ke mana-mana?
Tapi bagaimanapun juga, tidak banyak yang bisa Pra lakukan. Apalagi, peranannya juga tidak terlalu istimewa. Ia tidak lebih dari seorang yang hampir selalu menemani Kinan pergi melayat ke rumah duka. Dan dalam hal ini, ia sangat bangga dengan keputusan Kinan. Ia tahu betul dengan mengizinkan Pra menemaninya berkunjung ke rumah duka, maka Kinan sudah melampaui batas dari peraturannya sendiri. Karena jika dikatakannya bahwa ia tidak akan pernah membiarkan orang lain ikut campur dalam hal-hal yang bersifat prinspil, dengan urusan yang berkaitan dengan hati dan kepalanya, maka dengan begitu, orang pertama yang mengingkari janjinya justru dirinya sendiri.
“Kalau dunia harus mengikuti aturanmu, besok juga kiamat, Nan.”
“Ya makanya aku nggak maksa,”
“Kamu juga nggak perlu maksa diri kamu sendiri, sih,”
“Untuk ikutin aturan dunia?”
“Untuk ikutin aturan yang kamu buat.”
Hidup Kinan mungkin sama saja dengan kehidupan kebanyakan orang. Yang ketika tidur memikirkan menu makan besok, yang ketika bangun mencari upah atas pertanyaan yang semalam diciptakannya. Tetapi ada kalanya ia ingin presisi itu diubahnya menjadi ketenangan hati. Ketenangan yang akan menyuruhnya untuk tidak melakukan apa pun. Walau ia mengerti hakikat hidupnya sendiri. Bahwa nasi akan jadi basi, bahwa sabar tidak selalu mendatangkan subur, bahwa uang juga akan berujung usang, bahwa pada akhirnya tanah akan selalu jadi panah, bahwa hidup… cuma perkara hirup.
Hidup cuma perkara hirup ya, us?
Harusnya yg ditanyain tanah akan selalu jadi panah…
aaaaaa pauussss gasabar nunggu pra ke6
Hidup cuma perkara hirup 😌
lu emang super duper keren us
Selalu suka sama pemilihan kata yg tsana buat, dan ‘ngena’ banget di hati ♥️
Kenapa harus jadi orang lain untuk menghidupi hidup? Suka bener deh lo us🤧
Makasih Us, bagus banget. Aku belajar banyak dari tulisan tulisanmu. Aku yang gabisa mengungkapkan, gabisa cerita, mulaibpelan pelan nulis buat diri sendiri 🙂
Selalu takut apa yang ku baca tamat
tim gercep ni uss <3
Setiap kalimat, nyeskali si ke aku us
keren us lanjotkannn
Bahwa uang juga akan usang yah kan us
Jelas. Dia selalu jawab lagi bernapas, kalo lagi ku tanya lagi Apa?
Aku tidak sedang membaca Pra. Tapi aku sedang melihat Pra
Bahwa uang juga akan usang yah kan us
Ngga ngerti lagi sama cerita yang di tulis kamu kak tsan, kok bisa sih sebagus ini🥺
Setelah geez, nug dan biru, lalu sekarang Pra? Dan siapa Hara? Kak tsannnn aku ga kuat buat ngga nahan air mata kalo baca cerita kak tsana❤️
Hiruplah hidup
ko gue nangis ya baca nya, gatau kenapa “)
Coment ke 4 🙂
parah siiii😻
Dari awal emng udh suka banget sama cerita Pra meskipun blm terlalu ngerti sama jalan ceritanya
sedang berbagi hari dengan seseorang yang sifatnya tidak jauh dari Pra, entah kenapa malah nangis tiap baca chapter Pra:(
And im gonna miss Youuuuuuu pin😭😭😭
bahwa hidup… cuma perkara hirup ♥️
And im gonna miss youuuu 😭😭😭💔
Pra 🖤
“aku cuma tau kita sedang di neraka,” this hit me so hard
Bener banget Sih kita gaperlu ikutin aturan yg kita buat sendiri 🙁 ahhhh ka tsanaaa. Cinta banget aku sama tulisan2 kakak❤️ sehat2 kak Tsana 🙂
Rada kesel dikit sama kinan
i love ntsana, sukaaa banget sama tulisan ntsana:) semoga selalu bahagia ya kak
aw
andre kamu adalah pra versiku
Tapi, bukankah hidup itu untuk mati?
Hidup hanya tentang luka,bedanya cuma kapan dan dimana.
huhuhu, praaa
Hidup perkara hidup😭
“Untuk ikutin aturan yang kamu buat.”
Jadi hidup cuman tentang hidup ya Us?
Terlebih pada seseorang yang paling mungkin mematahkan hatinya☺️
Meski rada ga ngerti tapi tetep suka kak Tsana ♥️
🙂
hiruplah hidup tu gmn tsan 🙁
Suka bgt saat² pra sama Kinan berdua, suka saat mereka bersama ❤️
Ah, kenapa bisa sebagus ini?✨🙂
Kalau dunia harus mengikuti aturanmu, besok juga kiamat 😅
Emang selalu jd yang terbaik terus:) lv!!!!
Us, Hara baik kan?
Cukup Biru aja yg buat gw sedih krn Binta
Pra jangan :’)
Rada² jengkel gemes gemes gimana gitu sama kinan:v
Mengapa kita masih di neraka?
Gabisa banget pas “untuk ikutin aturan yang kamu buat”. Baru sadar,kalo uda maksa diri sendiri sebegitunya padahal siapa yang suruh kita begitu, :”
Selamat hari Sabtu pra
Karena kalau bumi aja berputar pada porosnya, kenapa kamu harus jadi orang lain cuma untuk menghidupi hidup?
Aaak suka banget banget kak 😍😍🥺 karena mikir mungkin jadi org lain hidup bakal bahagia tapi nyatanya ga bakal ada hidup yg selalu bahagia. Lebih baik menjalani hidup tanpa rasa beban agar hidup terasa lebih nikmat
Sukaaaaa❤😭
Wicked,
semoga pra sm kinan bersatu gk kaya aku dan dia….
Hemm:)
Awalnya gapapa kodok yg penting udh up 🙂
jatuh hati di setiap paragrafnya. Sehat selalu, paus!
jatuh hati di setiap kalimat. Sehat selalu, paus!
Paus memang keren🐳 suka bgt tulisannya💛
Semoga suatu saat bisa dapet seseorang seperti pra ya.
Bahwa hidup cuma perkara hirup – paus
Hara libra bukan? Wkwk
pengen bisa nulis juga, huhu 🙁
semoga Setepen seperti Pra🤗
Bener2 tertampar sama percakapan ini kak tsan
“Kamu juga nggak perlu maksa diri kamu sendiri, sih,”
“Untuk ikutin aturan dunia?”
“Untuk ikutin aturan yang kamu buat.”
Terimakasih :’)
Semangatt us,ditunggu kelanjutannya
Parahhhh baguss bgttt. Bacanya bener2 harus serius bgt wkwkwk
Semangat kak ntsana!!, baik² bumi kejam.
Sumpah keren bgt us…😭
“Yang berubah itu pohon, yang tidak berubah itu tanah.”
Sukaaaaa usss😭
Paling ditunggu us..❤
Cerita dari paus paling ditunggu..❤
Ahh.. us kenapasi ada aja yang perna gua alamin tu kayak yg di salah satu paragrafmu ini kan jadi keingat lagi..
ciri khas tersendiri milik cerita pra💙
Paus ❤
“Untuk ikut aturan yang kamu buat”😇
Sipdah mantep bgt us semoga ga ketypu lagi sm kodok 🙂
Us, gatau ya kalo gw baca tulisan lu harus fokus, serius dan mikir dalem bgt. Ah tp bagusss, dilanjutin ya us, cemongoyy
“Untuk ikutin aturan yang kamu buat.”
:’)) ngena ya us
Praaaaaa🖤
Super keren❤
Selalu ada pelajaran yang bisa diambil disetiap paragrafnya :”)
tsana oh tsana, cerita kali ini tentang pra menguras otakku yang mulai melemah. Crita pra rumit bahkan kalah dngn rumitnya kisah cintaku dengannya😭
“kematian adalah kehidupan terakhir yang tidak akan bisa berubah.”
Selalu terkejoed melihat pra
“bahwa kematian adalah kehidupan terakhir yang tidak akan bisa berubah.”
bagus bangeet
selalu ada pelajaran hidup di tiap bab nya:’) suka bgtt🖤
Pra 5 ditunggu US❤️❤️❤️❤️❤️✨
Baguus, suka bgt sama diksi tulisanmu, Us 🙂
Kok sedih sih bacanya😳
“kamu juga gak perlu maksa diri sendiri, sih”
“Mati, tapi pas hidup lagi jadi orang lain.”
Jika itu menjadi kenyataan, apakah akan menciptakan penyesalan ya us?
“Mati, tapi pas hidup lagi jadi orang lain”
Jika itu menjadi kenyataan, apakah akan menciptakan penyesalan ya us?
“Apa kita menjemput kematian saja, Pra? Mungkin dosa besar yang kekal itu justru bisa menyelamatkan kita.”
Yang sering terpikirkan saat merasa sudah capek🖤
Deep. Can relate with this
Bagus banget uuusss :'((
Kamu juga nggak perlu maksa diri kamu sendiri sih
“Untuk ikutin aturan yang kamu buat.”
❤❤❤❤
Bagus banget:(
Sukaaaa😭
Avv😍
bagus us aku suka
“Aku cuma tau kita sedang di neraka.” This his words very slapping:”)❤
mimpi adalah kegelapan tanpa ujung.
-paus
nunggu buku PRA bgt ni US;(
keren!!! bukan tentang Pra dan Kinan, bahkan bukan tentang Hara doang tp tentang harus apa diri ini untuk terus hidup.
Keren amat di lu us
paus :’)
Selalu senang dengan tulisan2 rintik sedu♥️
Us kenapa ya setiap kata-kata yang di buat sama paus itu selalu beda tapi bermakna your the best paus:)
Walau masih rancu sama jalan dan konflik yang sebenarnya,jujur ini sangat penuh makna yang baik untuk di cerna.
Banyak kata yang mewakili rasa serta keresahan jiwa setiap pembaca.
Tidak sedikit hikmah yang tersirat disetiap bait yang berderet.
Terimkasih us 🖤
Luv yu 🤗
Aku juga kenal seseorang yang selalu memaksakan dirnya untuk hal yang muluk² ttg semesta yang sebenernya bukan keinginannya, dia bukan ingin tenggelam dilaut karna ingin sepi bersama paus, tpi ia ingin ke luar angkasa karna ia mencintai bulan dan juga ingin sepi pula. Mirip kamu us, dan aku gatau lagi us. Aku hanya ingin menyadarkannya akan dunia yg sebenernya memang gak cocok banget buat dia walau sebenernya dia juga harus pura² baik pada dirinya sendiri sih.
-Terimakasih, us, sudah mewakili
representasi dirinya.
Walau sebenernya aku masi bingung sih.
ngetik pke jari apa pke apa si kak?gue baca pke airmata dih.baper anjay
Uniq bgt antara Pra sama Kinan, suka❤️
Jatuh cinta bgt sama pra:’)
Tanah jati diri atau prinsip?
tulisan paling jujur yang pernah ada, terimakasih sudah mau menuliskannya kak tsana:)
Bahwa…hidup cuma perkara hirup
hirup adalah perkara dari hidup🌚
keren uu
Terima kasih, us. Barisan kalimat dalam karyamu selalu berhasil menamparku. :’)
Hidup cuma perkara hirup😭👍 Can’t wait part selanjutnya
Aku suka pra. Dia realistis.
Us makasih udh ngelanjutin cerita Pra❤ makasih sudah menghadirkan Pra kedunia, dia seperti sosok yg pernah kutinggalkan, pernah kusesalkan, dan berujung kelegaan.
Harusnya baca ini dari kemaren2, tpi baru sempet baca sekarang. Love you Us❤
Pra:))
Pra:))
Semangat ka
Aku selalu nunggu update dari kamu pa us
Hmm Hidup, iya perkara hidup
awalnya aku bingung dan membutuhkan waktu untuk berungkali membaca pra, tapi sekarang, mulai bab 4 ini, aku udah mulai memahami cara dan gaya bicara dalam cerita ini. meskipun masih sama aja, sama aja gak easy reading, tapi tetep paham kalau dibacanya pelan-pelan, aku tunggu bab selanjutnya us
hidup cuma perkara hirup 😌
pra selalu menyusun kata yang sangat apa ya, kata yg di susun dia benar dan emg kenyataan:)
Pra sudah menjadi ingatan dalam pikiran Kinan.
Aku sayang dia. Aku mengasihi hidupnya lebih dari hidupku sendiri. Dulu aku memang senang mengetahui ada orang yang sama hancurnya denganku,
relate banget us hmmmm
Semangaaat us💜
aku mencintainya, tapi sangat sulit untuk bersikap seolah2 aku sangat mencintainya. sehingga ia berfikir hanya dirinya yang menghargai hubungan ini. bahkan ketika aku tidak pandai mengungkapkan kegundahan hatiku, aku selalu menyakiti perasaannya dengan setiap ucapanku. ibuku pernah bilang “bahwa amarah adalah musuh cinta, siapa yang tidak bisa mengendalikan amarah dia tidak bisa berbuat apa2”
Udah banyak yang komen ah, jdi gw ga perlu nambahin ya us. Intinya sih, lu nyebelin bikin selalu setuju sama apa yang lo tulis. Ngeselin kan? Tapi keren wkwkwk
Makasih ka tsana..😍 Jujur aku banyak bgt belajar dari tulisan² ka tsana
Dari tulisan ka tsana aku jadi melanjutkan untuk menulis lagiiii😗
Next, jangan lama lama Kak tsana😍
Yeyyeye suka suks sukaaaa
((hidup cuma perkara hirup)) :)))
Hidup cuma perkara hirup :)))
Bahwa hidup hanya perkara hirup:)
Kemarin malam aku mimpiin paus. Sampai bangun tidur dada aku sakit, sesek banget kaya ada yang mengganjal. Mungkin aku kangen tulisan kamu yak us, atau ada yang lain? Andai kita bisa bertemu us.
Pohon itu berubah, tapi tanah tidak berubah. Bagaimana dengan rumah? Rumah bisa berubah. Tapi jangan diri sendiri yang berubah. Begitu?
PraHara
Tokoh baru ini akan mengisi rasa penasaranku
Selalu takut apa yang ku baca tamat
Pra
ayo pra!kejar kinan!!!
“Apa kita menjemput kematian saja, Pra? Mungkin dosa besar yang kekal itu justru bisa menyelamatkan kita.”
“Hidup cuma perkara hidup”
Lagi-lagi Nan, pemikiran kita sama. Karena manusia itu abstrak kan?:”)
Pada akhirnya tanah akan selalu jadi panah
Aneh rasanya untuk dikuak secara lancip dan tumpul untuk ditusuk
Keren.. sukaa❤
Pra.pra.
Us, kirimkan kabar pada Pra, ya?
Pra itu Prajurit,
iyah prajurit di hati aku
xixixixixixi
baguss kak us
Pra, I have a crush on you:)
Lanjut dong uss😂
yang penting dari hidup, ya tetap bertahan sebagaimanapun keadaanya.
Gapaham lagi cara ungkapin rasa kagum terhadap tulisan2 dan pola pikir ka paus!:”
Deep❤️
Terima kasih atas kata2 indahnya