
BAB 6
Banyak yang berubah, terutama dengan
diriku. Semenjak musuh bebuyutanku itu tidak pernah absen untuk mengajakku
berpetualang setiap hari, aku jadi tidak pernah melamun menunggu email masuk
dari manusia misteriusku itu. Raka berhasil membuatku lupa hampir seratus
persen dengan sosok yang kutunggu selama ini, walaupun masih sering teringat
apalagi kalau sedang sendiri tetapi paling tidak aku sudah tidak fokus menunggu
kabar terbaru darinya meski sebenarnya ingin.
Kini detik mulai berjalan normal, tidak
seperti dulu sebelum ada Raka. Aku sekarang sadar bahwa aku bisa saja menunggu
waktu, tetapi waktu nggak mungkin nungguin aku untuk bergerak. Semakin lama,
semakin akan menyesal aku nantinya. Mungkin sudah saatnya untuk menghapus
namanya dalam sebuah ruangan yang sudah lama terkunci. Sudah saatnya aku
membuat kunci duplikat dan mengizinkan orang baru mengisinya.
Liburan kenaikan kelas ini, sebelum
naik ke kelas tiga, seluruh anak kelasku memutuskan untuk mengadakan acara
liburan bersama. Walaupun tidak lama, setidaknya kami bisa menghabiskan waktu
bersama sebelum jadi orang sibuk selama kelas tiga. Tadinya sudah tidak mau
ikut, tapi Tari jadi ngambek tiga hari sampai akhirnya aku bilang iya.
Sebenarnya alasanku untuk tidak ikut sangat kuat, karena…
“Kenapa
sih harus ke Bandung? Kayak nggak ada tempat lain aja.”
Nah, sekarang kalian paham kan. Atau
masih belum? Tidak apa-apa, tidak usah buru-buru.
“Udah deh, kamu akan baik-baik aja, kok.”
“Lagipula, memang Jogja kenapa sih?
Kurang indah apa coba? Kenapa sampai jauh-jauh ke Bandung? Kan, ada banyak
tempat di Jogja yang bisa dikunjungi.”
“Keana, udah deh ya. Kita udah berdebat
tentang ini beribu-ribu kali.”
“Ya tapi kan, Ta…”
“Sekarang gini, memang Bandung kenapa?
Hanya karena berdiri sebuah rumah pohon milik Geez lalu kamu jadi mengklaim
Bandung seburuk itu? Ayolah, Ke.”
Dengan tas besar yang ia bawa, Raka
menghampiriku dan Tari yang kelihatan sedang beradu argumen, “Tari bener.”
Aku hanya merengut.
Raka mengambil paksa tasku lalu ia
masuk ke dalam kereta juga Tari. Tapi aku tidak. Aku masih duduk di bangku
tunggu.
“Udah
ayo naik,” Raka menghampiriku yang masih saja duduk. Barang bawaannya pasti
sudah ia taruh semua di dalam kereta. Awalnya hanya berdiri, tapi karena aku
tidak bereaksi apa-apa, dia pun ikut duduk di sebelahku.
“Kamu tahu, kan, di Bandung ada apa?
Gimana kalau rumah pohon itu mengirim kembali semua kenangan yang sedang
berusaha kuhapus?”
“Harusnya masalah seperti ini memang
nggak perlu dibahas lagi.” Kata Raka sambil menyandarkan tubuhnya. Lagi-lagi
perkataan manusia menyebalkan itu harus aku benarkan, dua tahun tanpa email darinya
harusnya sudah bisa menjadi alasan untuk berhenti membahas apapun yang
berkaitan dengan Geez. Harusnya.
“Lo nggak akan ke sana, Keana. Kita mau
ke villa, bukan ke rumah pohon.” Setelah bicara itu, Raka mengajakku untuk
masuk ke dalam kereta. Kami naik kereta ekonomi, supaya lebih hemat. Aku duduk
di sebelah Tari, berhadapan dengan dua temanku yang lain, Fachri dan Rifki, dua
gembul kesayanganku yang selalu berhasil buat aku gemuk.
“Permisi, ada yang mau pesan makanan?”
“Saya pesan semua yang ada, mba! Lu mau
apaan Ki?” sahut Fachri.
Tari melotot, “Kalian ini gila atau
rakus atau laper atau apa?!”
Mereka hanya nyengir, sedangkan aku
cuma bisa menahan tawa. “Udah biarin aja kenapa, Ta.” Tari kelihatan emosi
sekali padahal mereka sama sekali tidak buat kesalahan apa-apa. Hanya pesan
makanan. Itu saja. Walaupun semua makanan yang ada di menu.
“Iya tapi kan, mana ada coba manusia di
dunia ini yang pesan semua makanan yang ada di menu? Kayak bakal habis aja.”
Tiba-tiba Raka mendatangiku. “Keana.”
“Apa?”
“Ikut gue sebentar.” Ia langsung meraih
tanganku buru-buru. Seperti ada sesuatu yang serius yang harus ia ceritakan
sesegera mungkin.
“Bentar, ya, Ta,” sembari beranjak dari
tempat duduk, aku meninggalkan Tari dengan dua manusia yang sedang membuatnya
kesal setengah mati. Aku berjalan menyusuri gerbong satu ke gerbong berikutnya.
Raka di depan dan tetap tidak bicara apa-apa. Ketika langkahku menuju gerbong
berikutnya, entah ada apa, keretanya cukup mengguncang dan aku hampir terjatuh
kalau saja Raka tidak segera menangkapku, “Nggak kenapa-kenapa kan, Ke?”
Matanya menatapku, aku spontan membalas tatapannya itu.
Walaupun masih sedikit kaget aku tetap
berusaha menjawab, “Iya… nggak…”
Dia meraih tanganku dari depan, iya,
dia, musuhku yang kini tiba-tiba membuat perasaan aneh itu muncul lagi,
perasaan yang kurasakan dengan Geez dulu. Nggak. Nggak mungkin! Masa iya Raka
yang berhasil menghidupkan kembali perasaan aneh itu? Ini pasti ada yang
keliru, ini pasti salah. Tapi ketika tangannya menyentuh jemari tanganku,
sesuatu terjadi, jantung berdegub cepat, kencang, rasanya berbeda sekali dengan
biasanya. Aku tahu harusnya tidak perlu ada perasaan semacam ini, tapi sudah
telanjur kurasakan dan tidak bisa ditolak.
Aku buru-buru kembali berdiri dan jalan
duluan. Sebisa mungkin aku harus kelihatan biasa aja. Aku tidak mau sampai dia
berpikir macam-macam. Ternyata Raka mengajakku ke restorasi yang ada di dalam
kereta. “Lo mau apa, Ke?” Ranyanya sesampai di restorasi.
Aku bahkan tidak engeh sudah sampai, “Aku
teh manis hangat saja.”
Kami pun duduk, dekat jendela, aku
terus saja menghadap ke arah jendela melihat pemandangan sawah hijau untuk
melupakan perasaan aneh barusan. Pasti beberapa detik lagi hilang, dan aku akan
kembali pada perasaan normalku sebagai mana mestinya. Seperti guncangan akibat
gempa, yang awalnya terasa dahsyat namun lama-lama juga hilang dan tidak ada.
Perasaan aneh itu pasti bukan perasaan yang sebenarnya kumaksud. “Keana?”
“Ha?”
“Kok bengong, sih?”
Tehnya datang. Aku buru-buru meminum
teh yang tadi kupesan, supaya sebisa mungkin tidak kelihatan sedang
kenapa-kenapa, “Iya nggak apa-apa, tadi Raka mau cerita apa?”
Dia membenarkan posisinya, supaya ia
bisa nyaman bercerita. “Jadi, tadi gue ketemu cewek.”
Aku tersedak, tehnya hampir tumpah
semua, ingin mengucapkan kalimat terkejut tapi aku belum selesai tersedak.
“Ke, lo kenapa, sih? Sakit, ya?” Ketika
bertanya itu nadanya berubah menjadi agak khawatir. Ia pergi untuk memesan
segelas air mineral lalu kembali dan memberikan itu untuk kuminum. Entah kenapa
muncul sejenis perasaan aneh yang lain ketika mulutnya berkata itu, sekali lagi
aku harus tetap kelihatan biasa saja, “A
girl?”
Wajahnya berubah bersemangat ketika
ingin menceritakannya padaku, “Teman lama sebenarnya, dulu sempet deket tapi
nggak jadi gue tembak (jadiin pacar), karena dia harus pindah ke Bandung.”
Aku harus ikut bersemangat mendengar
ceritanya, “Oh iya? Terus, terus?”
“Dia habis liburan di Jogja dan
ternyata dia satu gerbong sama gue, Keanaaa!!!”
Aku memasang wajah paling munafik di
dunia ini, tersenyum senang melihatnya gembira sekali, “Wah, kebetulan banget
ya?”
“Nah itu dia yang gue mau bicarain, Ke.
Mungkin dia kali ya, yang dikirim Tuhan untuk gantiin Sarah?”
Aku kira kamu yang dikirim Tuhan untuk
menggantikan Geez. Ya ampun, Keana… kamu ini kenapa? Kenapa rasanya
seperti…. seperti sakit sekali ketika mendengar dia bicara itu. Seperti kamu
adalah seseorang yang tidak memiliki apa-apa, lalu suatu ketika ada seseorang
datang, orang itu selalu menemanimu, orang itu berhasil membuat pelangi dalam
abu-abu hidupmu, yang tidak pernah kamu izinkan untuk diambil orang lain, tapi
kemudian sebentar lagi ia akan hilang, ya begitulah kira-kira.
“Ke? Keana? Lo sakit?” Raka menanyakan
hal yang sama untuk kedua kalinya, sambil memegang keningku. Ketika selesai
melamun, aku tiba-tiba merasa marah sekai dengannya. Padahal dia tidak buat
sesuatu yang buat aku kesal. Amarah ini berbeda sekali. Aku tidak pernah merasa
semarah ini dengannya.
“Apaan sih!” Kemudian aku pergi
meninggalkannya lalu kembali ke gerbongku. Mungkin kalau sekarang dilihat di
cermin, pasti wajahku seperti sedang ingin menelan manusia. Aku sebenarnya juga
tidak tahu kenapa tiba-tiba marah seperti itu dengannya. Ketika kembali duduk
di tempatku, Tari hanya menoleh. Dia tidak berani bertanya. Lagian, untuk apa
sih aku harus sekesal ini? Harusnya bukan menjadi urusanku, kan? Mau Raka dekat
dengan siapa pun itu, harusnya tidak jadi masalah. Dia kan hanya musuhku.
Harusnya aku senang dia memiliki perhatian lain dan akan berhenti menggangguku.
***
Aku dan teman-teman menginap di
penginapan milik salah satu teman, aku sekamar dengan Tari dan dua anak
perempuan yang lain. Kami tiba pukul sembilan malam, hampir semua anak-anak
langsung tertidur karena perjalanan yang cukup melelahkan, tetapi berbeda denganku.
Aku justru tidak bisa tidur. Berkali-kali mengubah posisi tetap saja tidak
bisa, karena kesal sendiri aku memutuskan untuk mencari angin keluar. Sudah
sepi, pasti hanya aku yang masih melek. Aku berjalan mengitari gazebo yang
ternyata masih belum sepi.
“Keana?
Keana!” Serunya sambil menghampiriku. Tidak perlu menunggu besok pagi untuk
bicara lagi dengannya, aku ingin minta maaf sudah marah-marah nggak jelas di
kereta siang tadi. Senang sekali mendengar suaranya memanggil namaku.
“Raka,” balasku menyapanya.
“Ke, lo harus tahu sesuatu. Sebelum
turun dari kereta, gue sama dia tukeran nomor telfon dan barusan tadi kita
telfonan!!! Lama banget lagi. Terus ternyata dia orangnya seru, nyambung banget
sama gue,” serunya bersemangat.
“Hah?”
Hanya kalimat itu yang bisa keluar dari
mulutku, tubuhku lemas, tidak kusangka justru kalimat itu yang ia ucapkan, aku
kira dia ingin minta maaf atau apa saja, asal jangan itu. Tapi wajah itu, tidak
pernah kulihat wajah Raka sebahagia itu bahkan ketika denganku. Mana mungkin
aku marah lagi apalagi menangis.
“Terus besok rencananya gue mau ke
rumah dia, lo mau ikut???”
Aku berusaha menjawab sambil tersenyum,
“Nggak deh, aku di sini aja.”
***
Selamat pagi.
Bandung dingin sekali pagi ini. Aku
memutuskan ke dapur untuk membuat teh yang bisa menghangatkan badan. Awalnya
kukira belum ada yang bangun tapi ternyata ketika menengok ke jendela Fachri
sudah absen duluan untuk beli bubur ayam di depan. Dengan secangkir teh hangat
yang baru saja kubuat, aku menghampirinya, “Masih pagi udah laper?”
Dia hanya nyengir sambil terus
menghabiskan bubur ayamnya sampai habis, “Lebih baik gemuk daripada tidak gemuk
tapi merokok.”
Aku tertawa kecil, “Hahaha, aku setuju
kalau yang itu.”
“Eh,
Ke.”
“Iya, kenapa Ri?”
“Sebenernya ada sesuatu yang dari dulu
mau kuberi tahu kamu, tapi aku takut.”
“Tentang?”
“Raka…”
Aku kira tentang apa, ternyata dia, “Raka?
Raka kenapa?”
“Waktu itu pas aku sama Rifki mau
pulang, kita lewatin tongkrongannya Raka. Nah, di tongkrongannya Raka ada roti
bakar kesukaannya Rifki, tadinya aku udah bilang nggak usah beli karena banyak
kakak kelas. Kamu tahu sendiri, kan, teman-temannya Raka seperti apa?”
“Iya tahu, lalu?”
“Terus pas aku sama Rifki turun dan
pesan roti bakar, aku denger Raka dan teman-temannya itu, termasuk kakak kelas,
lagi bicarain kamu.”
Aku mulai merasa ada yang tidak benar, “Bicarain
aku?”
\
“Raka bilang, sebelum naik kelas tiga
dia pasti akan berhasil buat kamu jatuh cinta sama dia. Terus aku juga denger,
salah satu kakak kelas salut karena selama ini dia berhasil pura-pura mau
temenan sama anak kayak kamu. Maaf, Ke.”
Aku terhenyak di kursi dekat gerobak
tukang bubur, rasanya seperti dipanah berkali-kali. Jadi selama ini, semuanya
adalah kebohongan? Tapi semua yang sudah dia lakukan untukku? Pertolongan
perasaan yang dia berikan itu? Mengajakku berpetualang? Mencari objek foto?
Main di laut? Minum wedang ronde di alun-alun setiap malam? Apa itu semua tidak
ada yang tulus sama sekali? Satu pun? Semuanya hanya skenario? Aku hanya bahan
lelucon?
Fachri berusaha bicara padaku
pelan-pelan, “Keana, aku minta maaf, aku baru berani bicara ini sekarang.
Jangan bilang Raka ya, aku dan Rifki bisa dihajar nanti.”
Aku berusaha tenang. “Oke. Makasih,
ya.” Aku masuk dan berniat merapikan baju ke dalam tas untuk pulang kembali ke
Jogja. Aku memang punya firasat sejak awal untuk tidak usah ikut ke Bandung.
Lagipula, untuk apa lagi aku di sini? Melihat kebohongan dari seseorang yang
tadinya kukira akan menjadi pengganti Geez? Dasar bodoh kamu, Keana Amanda.
Dari awal kamu tahu kebencian itu sudah ada, lalu kamu kira bisa berubah dengan
sesuatu yang sangat indah? Harusnya kamu percaya dengan logikamu kalau Raka
Adam adalah musuhmu dan akan selalu begitu.
Karena terburu-buru, aku menabrak
sesuatu, dan ketika aku melihat wajah seseorang yang tidak sengaja aku tabrak,
aku berusaha untuk menghindarinya sebisa mungkin tetapi dia berhasil meraih
tanganku, “Keana.”
“Lepas!”
“Lo kenapa?”
Berani sekali dia bertanya kenapa! Aku
benar-benar muak melihat wajahnya, menjijikan. “Kenapa kamu bilang? Coba kamu
pikir kenapa, hah?” Sepertinya dia mulai sadar jika aku sudah sadar dengan
kebohongan yang selama ini dia tampilkan di depanku, “Keana…”
“Cukup! Yang boleh memanggil namaku
hanya orang-orang yang tulus berteman denganku, bukan untuk seseorang yang
hanya menjadikanku bahan lelucon!” Aku berkata ketus, lalu meninggalkannya
dengan air mata yang deras. Jahat! Dia adalah manusia paling tidak punya hati
yang pernah kutemui.
Semesta, sakit sekali rasanya, maaf aku
menangis. Kebodohan terbesarku adalah pernah berpikir jika aku mulai menyayangi
manusia jahat itu, benar-benar kesalahan besar.
Aku berlari meninggalkan tempat
penginapan. Raka tidak mengejarku karena aku tahu dia pasti mengerti apa yang
aku inginkan dan harusnya dia malu kalau masih berani mengejarku.ke manaAku
hanya ingin pergi, pergi jauh, jauh, jauh sekali. Aku ingin berlari dari rasa
kecewa yang padahal akan tetap menempel dalam diriku walau aku pergi ke ujung
dunia sekalipun. Keringat dan air mata melebur menjadi satu kesatuan dalam
wajahku, tidak tahu sudah seberapa lama dan seberapa jauh aku berlari, aku
merasa sangat kelelahan, kepalaku mulai terasa sedikit berputar-putar.
“Neng Keana?” Tiba-tiba seorang bapak
tua menghentikan langkahku yang sudah letih, ia memegang sapu lidi seperti
habis membersihkan jalanan.
“Iya, Pak. Saya Keana,” jawabku sambil
berusaha tersenyum walau lelah setengah mati.
“Akhirnya si eneng ke sini juga…”
Tentu saja aku bingung, “Ke sini?”
“Iya, ke rumah pohon. Ayo neng, bapak antar
ke dalam,”
Wajahku berubah terkejut seperti habis
melihat hantu, “Sebentar pak, rumah pohon?”
Bagaimana mungkin langkahku bisa sampai
di sini? Ah, rumah pohon di dunia ini kan tidak cuma satu. Tapi kalau memang
rumah pohon yang dimaksud si bapak adalah…
“Pak, bapak pasti salah, saya nggak mau
ke rumah pohon. Dan oh iya, bapak bisa tahu nama saya dari mana? Saya, kan,
belum bicara apa-apa.”
“Dari Mas Gazza, neng lupa?”
Lupa? Mana mungkin aku bisa lupa sama
dia. Tunggu-tunggu, aku tidak sedang benar-benar berada di rumah pohon ‘itu’
kan? Ini pasti cuma mimpi. Langkah kakiku membawa jiwa yang sedang tenggelam
dalam rasa sedih ke tempat ini? Tempat terindah ini? Ini semua diluar akal
pikirku, jauh sekali dari logika. “Duh pak, gini ya, maaf tapi saya nggak
bermaksud mau ke sini.”
Si bapak jadi ikutan bingung, “Loh,
lalu si eneng mau ke mana? Di sekitar sini, kan, hanya ada rumah bapak sama
ladang kecil dan rumah pohon, nggak mungkin atuh Neng Keana yang geulis mau
pergi ke ladang?”
Aku jadi lebih bingung.Ke manake mana “Kok,
bapak bisa menebak saya yang namanya Keana?”
“Ketika tadi neng tersenyum.”
Lagi-lagi alasannya itu, seperti bapak
penjual bunga di Jogja. Ada apa sih dengan senyumku? Perasaan biasa saja, tidak
ada bedanya dengan milik orang lain. Pasti ada sesuatu yang Geez beri tahu ke
si bapak tentang ciri-ciriku!!! Sebal.
“Kalau bapak, bapak siapa?”
“Saya Pak Amir, bapak yang menjaga
rumah pohon milik Neng Keana.”
“Tunggu-tunggu, rumah pohon saya? Pak,
rumah pohonnya bukan punya saya, punya Gazza.” Si bapak akhirnya menjelaskan
padaku tentang banyak hal. Tiga hari sebelum keberangkatannya, ia membeli rumah
pohon ini atas nama Keana Amanda, dan mempekerjakan Pak Amir untuk merawat agar
tidak rusak dan kotor.
“Jadi waktu itu Mas Gazza bilang, Pak, saya titip rumah pohonnya ya. Mungkin
bapak akan ketemu sama yang punya dalam jangka waktu agak lama, tapi tolong
dirawat ya pak. Saya nggak mau ketika yang punya datang ke sini, rumah pohonnya
membuat dia kecewa, begitu katanya neng.”
“Terus, pak?”
“Ya bapak tanya namanya siapa, Mas
Gazza bilang namanya Keana, Keana Amanda.”
Dia membeli rumah pohon ini? Rumah
pohon atas nama Keana Amanda? Apa tidak salah? Apa Keana Amanda itu aku?
Atau Keana Amanda yang lain? Sungguh. Semua ini masih membuatku tidak percaya
sama sekali. Bisa-bisanya Geez tidak memberi tahuku soal ini. Aku mencoba untuk
bernapas pelan, “Baik kalau memang begitu, saya akan mampir sebentar,”
“Mau diantar neng?”
“Oh nggak pak, saya masih hafal
jalannya.”
Kalau tanpa direncanakan saja langkahku
bisa sampai di sini, sepertinya sangat mudah untuk hanya berjalan masuk menuju
ke dalam rumah pohon. Dan ternyata tidak ada yang berubah, bunga mawar di
sekitarnya masih tumbuh subur, Geez tidak akan menyesal sudah mempekerjakan Pak
Amir. Semuanya masih sama, jalan setapak kecil yang ia buat, bahkan udaranya
pun masih terasa sama, hanya bedanya sekarang aku datang seorang sendiri.
Langkahku sekarang sudah tepat berada di depan istana kecil yang pernah jadi
tempat terindahku dengannya dulu, tanganku tiba-tiba seperti terkena rintik hujan
padahal langit sedang cerah sekali, pipiku pun begitu, ya ampun, aku menangis
tidak tahu kenapa, aku hanya merindukannya, sangat merindukannya.
Sesampaiku pada tangga terakhir, aku
terkejut dengan isi rumah pohonnya. Terakhir kali aku ke sini dengan Geez tidak
ada apa-apa, sungguh. Sekarang yang kulihat adalah sebuah teropong yang
mengarah keluar jendela, buku-buku karya Enid Blyton kesukaanku, karpet dan
bantal bernuansa boho, dan lampu-lampu kecil seperti kunang-kunang. Bagaimana
bisa menahan air mataku untuk tidak turun? Hal-hal yang menyangkut dengannya
pasti selalu membuatku bahagia.
Indah sekali semuanya dari sini,
harusnya sempurna kalau ada kamu. Geez, kamu ada apa? Ada apa sampai kamu tega
melakukan ini sama aku? Maaf, maaf karena aku nggak bisa nepatin janji kamu
untuk jadi Anna yang ceria. Ketika kamu pergi, hal-hal berubah menjadi berat.
Aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya untuk melewati semua ini. If only you were here, mungkin aku bisa
percaya kalau semuanya akan baik-baik saja. But
if you could see me right now, i’m alone, Geez. And i have no plan to do expect
angry with myself, and crying.
Aku buru-buru menutup wajahku dengan
kedua tanganku, lalu menangis, sederas yang aku bisa. Aku tutup karena malu dilihat
oleh rumah pohon, takutnya dia mengadu pada Geez. Aku hanya tidak mau Geez
sampai tahu aku sedih lalu ia tutup semua toko es krim yang ada di muka bumi.
“Pulang!”
Suara itu…suara itu!!!
Dia membuka wajahku, memegang kedua
tanganku, kemudian duduk disampingku dan berkata lembut, “Balik sana ke tempat
penginapan, semuanya sedang pusing mencarimu,”
Mulutku mendadak kaku tapi aku tetap
harus mengatakan sesuatu, “Geez?”
Aku hanya ingin memastikan dia sungguh
Geez. Kupegang wajahnya, ternyata ia benar-benar Geez. Ia menggenggam erat tanganku,
kuharap itu adalah bentuk kalau ia tidak ingin melepasku pergi.
“Geez kenapa kamu hilang? Kenapa
emailmu tidak pernah lagi muncul? Aku salah apa? Aku bandel ya?”
Dia berusaha menenangkanku seperti yang
selalu ia lakukan, “Nggak, kamu nggak bandel. Sekarang kita harus bahas yang
lebih penting dulu,”
“Ini penting, Geez!”
“Ann kenapa? Kenapa matanya sembab?
Kenapa pipinya basah?”
Aku tidak bisa menjawab, otakku seperti
bayi baru lahir yang tidak tahu apa-apa. Aku justru fokus memandangi wajahnya
yang ingin sekali aku curi supaya tidak perlu kangen-kangen lagi.
“Ann, kamu masih ingat dengan ancamanku,
kan?”
“Ingat,”
“Apa?”
“Kalau aku menangis, kamu akan menutup
semua toko es krim di dunia ini.”
“Lalu kenapa kamu masih berani
menangis?”
“Karena aku benar-benar marah dan kesal
dan benci dan kecewa dan…”
“Iya sudah-sudah, aku mengerti. Tapi
semua yang kamu rasakan itu pasti ada penjelasan dan penyelesaiannya,”
Aku memalingkan muka, “Penyelesaiannya
adalah kamu tetap di sini.”
“Hey,
listen. You will be good, alright? Aku percaya dengan orang paling ceria
ini sanggup menyelesaikan masalah-masalahnya.”
“Tapi email-emailmu?”
Dia tersenyum, senyuman yang akhirnya
kusaksikan lagi, “Sekarang kamu harus kembali ke penginapan.”
“Tidak mau, ada Raka, manusia paling
jahat di muka bumi ini! Aku ingin pulang ke Pluto saja, berteman dengan
alien!!!”
“Kalau kamu bisa memaafkan dirimu sendiri
karena pernah membenciku, kenapa kamu harus marah karena tidak bisa
memaafkannya?”
Aku tidak menjawab dan beranjak menuju
kaca jendela, melihat bintang-bintang melalui teropong yang sebenarnya aku
tidak tahu cara menggunakannya. Untung saja dia paham kalau aku nggak ngerti, “Mau
lihat apa sih?” Dia bertanyanya lembut.
“Kamu sama aku itu seperti jarak antara
satu bintang dengan bintang yang lain. Kalau dari jauh kelihatan dekat, padahal
kalau didekati sangat jauh.”
Dia membelai rambutku, “Itu karena aku
dan kamu bukan bintang,”
Aku menoleh dengan heran, kenapa
jawabannya selalu singkat, padat, dan nggak jelas, “Kok?”
“Iya, kita kan bukan bintang, aku Geez
dan kamu Ann. Geez dan Ann yang hidup di bumi, yang menyadari kalau selama
masih memandang langit yang sama, maka tidak akan pernah ada jarak terjauh yang
memisahkan mereka.”
Kini giliran ia yang melihat ke langit,
sedangkan aku tersenyum memandanginya lagi sehabis mendengar perkataannya
barusan, “Benar?”
“Eneng, neng, neng, sudah gelap.”
Aku mendengar sesuatu, lalu membuka
mataku yang terasa seperti habis lama terpejam.
“Neng? Neng Keana?”
Suara itu muncul lagi, ternyata dari
bawah, Pak Amir berusaha membangunkanku, sepertinya. Iya benar, sudah gelap.
Aku melihat ke atas, wah, banyak sekali bintang malam ini. Oh iya, kenapa aku
tidak pakai teropong yang tadi kulihat dengan Geez…
GEEZ!
“Geez? Geez?”
“Neng ayo turun sudah malam.”
“Pak, Gazza ke mana ya pak? Dia ada di
bawah sama bapak ya?” Tentu saja aku menanyakan hal itu. Pak Amir memandangiku dengan penuh
pertanyaan, “Gazza? Mas Gazza maksudnya gimana, neng?”
“Iya pak, tadi Gazza ada di sini.”
“Tapi dari tadi siang neng hanya
sendirian di atas, kemudian ketiduran.”
Apa? Aku ketiduran? Jadi barusan itu
hanya bunga tidur? Tidak nyata? Geez tidak benar-benar datang ke sini tadi?
Tubuhku terasa ringan sekali, aku kecewa dengan diriku sendiri. Kalau saja tadi
aku tidak tertidur, mungkin sekarang aku akan merasa biasa saja, tidak akan
sekecewa ini. Jari-jariku dingin, ingin tidak menangis tapi ternyata sulit
menahannya untuk tidak keluar. Aku menengok ke bawah dan Pak Amir masih
menungguku untuk turun, sudah gelap, aku tidak tahu jam berapa sekarang.
Mungkin Geez benar, aku harus pulang.
Karena melihat mataku sembab, Pak Amir
jadi sedikit bingung, “Si eneng, kenapa? Kok seperti habis menangis?”
“Nggak apa-apa, pak, saya pulang dulu
ya sudah gelap.”
“Mampir dulu ke rumah bapak ya, ada teh
hangat dan ubi rebus. Neng Keana belum makan sejak tadi siang, sekarang lihat
tuh, sudah hampir jam sepuluh malam.”
“Hah?! Jam sepuluh malam, pak? Selama
itu saya tidur?”
Wajar sih lama, habis…mimpinya sangat
indah. Pak Amir kemudian mengantarku ke rumahnya, rumah sederhana dengan
kehangatan yang menyelimutnya, entah kenapa tapi aku bisa merasakan itu.
“Ya ampun, jadi ini yang namanya Keana?
Geulis pisan,” kata seorang ibu yang menyapaku dari dalam.
“Waduh, saya sudah terkenal ya pak?”
Tanyaku bercanda.
Si ibu tertawa kecil, “Iya atuh, Mas
Gazza kan sering ke sini untuk minum teh kesukaannya.”
“Oh… jadi dia sering ke sini juga ya
bu?”
“Wah iya, sering, sering juga cerita
tentang si teteh.”
“Si teteh? Teteh siapa bu?”
“Teteh Keana maksudnya si ibu,” kata si
bapak berusaha melengkapi.
“Ya udah, ibu buatkan teh dulu ya,
ubinya baru saja matang,”
Aku tersenyum, bergumam dalam hati,
masa sih aku sering diceritakan sebegitunya?
“Hmm… pak, bapak sudah lama kenal
Gazza?”
“Wah sudah lama, neng. Dari Mas Gazza
kecil, dulu si bapak sama ibu pernah kerja lama di rumahnya. Cuma karena sudah
tua, ya pensiun, nggak kuat kerja. Tapi Mas Gazza sudah seperti anak sendiri,
makanya dia sering ke sini. Sekadar minum teh, makan ubi rebus, sama
cerita-cerita.”
“Cerita apa, pak?”
“Banyak, Mas Gazza punya cerita yang
lucu-lucu. Tapi beberapa tahun terakhir si mas sering datang ke sini bicarakan
tentang Neng Keana, nah rumah pohon itu, dulunya punya juragan sapi. Tapi
karena nggak keurus, Mas Gazza beli. Terus si mas minta bapak supaya rumah
pohonnya dibereskan supaya jadi layak. Karena katanya untuk seseorang.”
“Seseorang, Pak?”
“Iya… untuk Neng Keana.”
Ya ampun semesta, kok bisa sih ada
makhluk seperti dia? Tapi, bagaimana mungkin? Dia tidak pernah memberi tahuku
soal ini, bahkan dia hanya mengajakku sekali waktu itu sebelum dia berangkat ke
Berlin. Sampai kapan dia terus memberiku kejutan seperti ini? Kalau saja dia
tahu, aku tidak mau lagi diberi kejutan, aku tidak mau lagi disuruh
menyelesaikan teka-teki yang dia berikan, aku hanya ingin dia datang dan
menjelaskan tentang kebingungan yang aku rasakan sejak pertemuan pertama dengannya.
Setelah mencicipi ubi rebus paling
lezat yang pernah kucoba dan secangkir teh hangat, aku berpamitan dengan Pak
Amir dan istrinya. Tidak perlu takut tersesat karena aku sudah mengerti arahan
yang tadi Pak Amir beri tahu. Sepanjang jalan menuju tempat penginapan,
kepalaku tidak bisa berhenti melupakan omongan yang tadi Pak Amir ceritakan.
Semua ini pasti ada arti dan maksudnya, mana mungkin ada seseorang yang bertemu
hanya setahun sekali tapi membelikanmu sebuah rumah pohon terindah yang pernah
kulihat, bahkan yang kulihat di internet tidak ada yang seindah itu.
“Ya ampun, Keana!!!!!”
Aku kaget, seseorang tiba-tiba
memelukku, terlalu dalam berpikir membuatku tidak sadar sudah sampai dekat
penginapan, cepat sekali rasanya, waktu seperti ditelan pekerjaan otak yang
sejak tadi belum juga beristirahat.
Tari kelihatan panik, “Kamu dari mana
aja? Kamu hampir menghilang seharian, kalau mau pergi bilang aku susah banget
sih. Handphone pakai acara tidak dibawa, jantungku hampir copot tau tidak?
Untung saja Basta mencegahku untuk tidak dulu lapor ke polisi,”
“Ta, aku kan udah di sini, kamunya aja
yang terlalu parno,”
Tari merangkul dan mengajakku untuk
masuk ke dalam, Raka terlihat berdiri di depan pintu dan aku hanya melewatinya
tanpa melirik sedikit pun. Semuanya memang kelihatan cemas, memang selama itu
aku pergi ya? Aku duduk di sofa dengan secangkir coklat panas yang Tari buat, “Ke,
kamu jangan kayak gitu lagi ya?”
Aku mengangguk, tapi bukan berarti
berjanji tidak akan lagi melakukan itu. Kadang kita memang nggak akan pernah
tahu apa yang akan terjadi esok hari, tapi apa pun yang sudah terjadi pada hari
ini atau kemarin, harus aku terima karena memang sudah telanjur terjadi. Dan
mengenai permusuhanku dengan Raka yang pernah jadi pertemanan menyenangkan,
harus diakhiri dengan kekecewaanku yang tak akan bisa disembuhkan, apa yang ia
perbuat benar-benar keterlaluan. Sekarang aku tidak perlu lagi memusuhinya,
karena kini dia hanya orang asing dan tidak lebih dari itu.
Ketika di kamar berdua Tari dan
anak-anak yang lain sudah tertidur, aku mencoba untuk bicara dengannya soal
keinginanku ingin pulang, bisa kalian tebak pasti Tari tidak akan setuju.
“Pokoknya kamu tidak boleh pulang!”
Ketusnya merebut ranselku.
“Ta, aku nggak bisa di sini. Kamu nggak
mau lihat aku sedih kan? Semakin lama melihat Raka cuma membuatku semakin benci
dengan diriku sendiri.”
“Tapi, Ke…”
Aku mengambil kembali tas yang
digenggam Tari, “Nanti aku kabari kalau aku sudah sampai Jogja.”
Tari memelukku, “Kamu hati-hati ya, aku
nggak tahu kenapa semuanya bisa jadi rumit seperti ini.”
Setelah berpamitan dengan Tari, aku
berusaha berjalan pelan supaya tidak membangunkan yang lain, dan untung saja
lampunya sudah dimatikan semua, jadi aku bisa aman. Duh, kenapa Bandung harus
sedingin ini ketika malam, aku melirik jam tanganku dan sudah pukul dua pagi.
Keretaku berangkat jam setengah tiga, untung saja Pak Amir memberiku tumpangan
gratis dengan ojek yang tidak lain adalah temannya, karena sulit sekali mencari
kendaraan umum dini hari seperti ini.
“Sudah pak di sini saja, nanti saya
tinggal jalan kaki, sudah tinggal dekat juga. Sekali lagi terima kasih ya pak,
salamkan untuk Pak Amir dan ibu, kalau ada waktu saya akan kunjungi mereka lagi
dalam waktu dekat,” setelah itu aku turun dengan menopang tasku untuk masuk ke
dalam. Tapi belum sampai melangkah, aku dikejutkan oleh suara seseorang yang
memanggilku, “Keana?” Suara itu? Suara itu kenapa bisa ada di sini? Tidak
mungkin si bapak berubah suara menjadi suara yang tidak pernah ingin kudengar
lagi itu kan? Amarahku muncul lagi ketika suara itu masuk tepat ke dalam sistem
pendengaranku. Mau tidak mau aku harus memaksa kakiku berhenti diam di tempat.
“Keana, gue…”
Tanpa berbalik menghadapnya (karena
tidak sudi melihat wajah paling menjijikan itu), aku berusaha sepenuh hati
untuk mencegahnya melanjutkan perkataan yang sangat tidak ingin aku harapkan
terdengar, “Pergi.”
“Tapi,”
“Kalau begitu aku yang pergi.” Ia meraih
tanganku, aku berusaha keras untuk menahan air mataku turun karena masih tidak
percaya dia berani melakukan itu denganku.
“Maaf,”
Aku berbalik menghadapnya (walaupun
dengan berat hati), “Aku bilang pergi.” Panggilan keretaku terdengar sampai ke
sini, aku menatap wajahnya yang tidak berani menatapku, “Ternyata aku yang
harus pergi, jadi kamu nggak perlu repot-repot pergi, jadi kalau kamu mau di
sini sampai besok pun… terserah,”
“Gue jahat, selama ini gue bohong. Gue
udah kurang ajar, jadiin lo taruhan, jadiin lo bahan lelucon buat temen-temen
gue, gue keterlaluan.” Ingin sekali aku menamparnya ketika kalimat itu keluar
dari mulutnya, “Terus untuk apa kamu masih berani ada di sini!” Ketusku, jelas
saja aku benar-benar marah.
“Untuk bilang sama lo kalau nggak
sepenuhnya apa yang terjadi adalah kebohongan. Kali ini lo harus percaya, gue
mohon Ke, niatnya mungkin iya tapi seiring berjalannya waktu niat gue hilang,
gue beneran tulus mau temenan sama lo. Karena gue nggak bisa lihat lo sedih
setiap hari, gue…. gue cuma mau menghibur lo dan gue seneng bisa ngelakuin
itu buat lo.”
Aku menarik tanganku dari genggamannya,
membalikkan tubuhku lagi untuk masuk ke dalam stasiun. Dia menangis, “Keana, lo
nggak bisa giniin gue.” Apa? Dia menangis? Laki-laki seperti dia bisa menangis
juga? Kenapa jadi dia yang menangis? Kalau kalian terkejut, maka jangan tanya
seperti apa wajahku ketika mendengar isakannya. Untuk apa coba dia menangis? “Gue
nggak bisa nggak ada lo. Keana, jangan pergi.”
Panggilan terakhir untuk penumpang
kereta jam setengah pagi bersuara lagi, aku mengenakan ranselku lagi kemudian
masuk ke dalam. Seperti yang sudah kukatakan, apa pun yang sudah terjadi pada
hari ini atau kemarin, harus aku terima karena memang sudah telanjur terjadi.
Tapi untuk menghilangkan kekecewaan ini…. itu sulit, itu mustahil. Maaf Raka,
sudah kucoret namamu dalam tokoh yang harusnya ada di bab-bab berikutnya.
Namamu berakhir di halaman terakhir pada bab ini.
Blacklist nama Raka..
Nangis dah 😥
Gezz kamu kemana?
geez, pulanglah, ann butuh kamu
yah di blacklist kan , hiss Raka si –‘
huaaaa pausss akuu nangiss gaboongg hikss… Geezz kamuu dimanaaaa???
Puaasss membasahi mataaaa :((