Kesan
pertama Pra ketika sampai di rumah duka itu adalah sepi. Tidak ada orang sama
sekali kecuali Rina, dan beberapa petugas yang mengurus keperluan jenazah
sebelum dikuburkan. Sebenarnya ia juga tidak menduga bahwa tujuan Kinan siang
itu benar-benar rumah duka dalam arti yang sebenarnya. Ia kira akan mengunjungi
sebuah rumah sederhana, di mana banyak sanak keluarga, teman, yang berkumpul
untuk menyampaikan doa atau sekadar hutang maaf yang tidak sempat diucapkan.
Tetapi, tidak. Ia justru tiba di sebuah rumah duka yang dari luar lebih
terlihat sebagai bangunan tua yang tidak terurus, terlihat cat pada dinding
banyak yang mengelupas. Ah, tapi siapa juga yang mau menyerahkan waktunya untuk
mengurus tempat bagi orang mati? Ya, kecuali ada upahnya. Atau sekadar uang rokok
dan kopi juga tidak masalah.
Pra
berusaha untuk membungkam mulutnya sebab sejak berangkat Kinan bilang, “Nanti
kalau udah sampe, pokoknya diem aja.” Ah, kalau ia tahu keadaannya akan seperti
ini, mungkin harusnya tadi ia bertanya: Memangnya kenapa harus diam?
“Nan,
ini beneran ada yang meninggal?”
Dan
seperti sudah bisa menebak Pra akan melontarkan pertanyaan itu kepadanya, Kinan
cuma berlalu menghampiri Rina yang menggendong Kamila ¾ anak perempuannya yang masih berusia
tiga tahun, di tangannya.
“Tidak
ada yang datang sama sekali?” tanya Kinan.
Rina
menggelengkan kepalanya sambil berucap, “Dia orang baik, Nan.”
Kinan
menenangkan sahabatnya itu dengan tidak banyak bertanya. Sementara itu, Pra
yang masih menyimpan banyak pertanyaan, memilih duduk diam. Bagaimana
mungkin ada upacara kepergian yang cuma dihadiri oleh tiga orang? Apa dengan
begitu masih bisa disebut dengan upacara? Lalu, ke mana semua orang? Apa tidak
pernah benar-benar ada semua orang? Apakah akan seperti itu aku nanti ketika
mati? Apakah Kinan juga tidak akan datang? Sejak detik itu ia sadar, bahwa
kesepian, lebih menakutkan dari kematian itu sendiri.
Mungkin
ia benar dengan apa yang diyakininya saat ini, bahwa mungkin, perlahan Kinan
berusaha menunjukan kepadanya segala maksud dibalik urusannya dengan rumah
duka. Mungkin tidak secara terang-terangan, bahkan mungkin Kinan tidak pernah
bermaksud apa-apa, tapi Pra yakin, ada makna penting yang harus diartikannya. Karena
kalau pun tidak ada apa-apa, lantas mengapa ia mengizinkanku untuk selalu ikut?
Apa ia telah mengikutsertakan aku dalam kedukaannya?
“Mikir
apa?”
Pra
tidak langsung menanggapi Kinan yang menghampirinya. Sudah Kinan duga pasti Pra
kebingungan. Dan ia tetap pada sikapnya yang sejak awal, untuk tidak akan
menjelaskan pada siapa tentang apa, juga tentang siapa pada apa pun. Pra ingin
sekali menangkis dengan bilang tidak sedang memikirkan apa pun, tapi ia sendiri
yang pernah bilang bahwa sepasang mata adalah satu hal paling jujur di dunia.
“Kamu
sudah selesai?” tanya Pra.
“Baru
juga sampai,”
“Tapi
tidak ada siapa-siapa, Nan,” jawabnya dengab jantung yang berlari kencang. Ia
ingin sekali bertanya, Mengapa tidak ramai? Mengapa tidak ada karangan bunga?
Mengapa tidak ada tangisan dan lantunan doa-doa? Mengapa harus kuterima bahwa ternyata
tidak semua upacara kepergian memaklumi kesedihan?
“Kamu
kalau mau pulang, pulang saja. Aku bisa pulang dengan Rina.”
“Aku
tidak bisa pulang tanpamu.”
Dipeluknya
Pra begitu erat dan tidak bisa lagi dibendung air matanya yang selama ini
membuatnya terlihat kuat, walau kenyatannya sebaliknya. Kinan membiarkan
dirinya, untuk sebentar saja, bersedih. Pra bangkit membalas pelukannya.
Menyudahi segala macam kalimat tanya yang diciptakannya, takut bilamana Kinan
mengetahuinya. Dibelainya rambut hitam legam yang indah, seakan hidup rasanya
berubah jadi sangat sederhana: bahwa dari air mata, ada mata air yang muncul
dari sana.
“Tempat
terakhir kita di bumi itu tanpa sekat, Pra,”
“Aku
tahu.”
“Lantas
mengapa mereka sengaja tidak menyempatkan?”
“Waktu
mungkin memiliki batas, tapi batas tidak mengenal waktu, Nan.”
Kinan
tidak menyahut. Ia memilih tidak menanggapi perkataan Pra. Bukan karena ia
tidak ingin mencoba mengerti, ia cuma berusaha menghindari hal-hal yang ia
yakini lebih baik tidak didekati. Dan memang benar lebih baik begitu.
Seandainya ia menjelaskan, segala sesuatu yang diketahuinya akan semakin
menyakitkan. Tuhan memang benar Penyayang, tapi mungkinkah Ia kesepian? Tapi
Kinan bukan Tuhan. Kalau pun ia tidak penyayang sebagaimana dikisahkan, ia
tetap tidak berhak diperlakukan sedemikian rupa oleh oleh ketakutannya sendiri,
oleh titik di mana nyata dan fana tidak ada bedanya. Dan aku sungguh-sungguh ketika
kukatakan tidak akan pulang tanpanya. Karena bila tidak dengannya, maka tidak
di mana pun.
“Ketika
kita dilahirkan, kita bersumpah untuk mati, Pra. Itu janji kita bukan pada
Tuhan, bukan pada alam raya tempat kita memijakkan kaki, bukan. Itu janji yang harus
kita tepati pada diri kita sendiri.”
***
“Sotonya
satu ya, Bu.”
Tadi
pagi ketika sedang membuang sampah, seorang perempuan yang menempati kamar kos
di sebelahnya, mengajaknya berkenalan. Namanya Wati, dia asal Pekalongan. Dia
cerita kalau dia juga baru seminggu ini di Semarang, ikut suaminya yang bekerja
sebagai dosen di salah satu universitas daerah Tembalang. Dia juga bilang,
“Enak banget kamu, Nan, punya kerjaan, punya kesibukan.”
“Bukannya
lebih enakan kamu? Sudah menikah, makan dari gaji suami,”
“Ah.
Menikah ternyata cuma begini saja, Nan.”
“Begini
gimana?”
“Ya,
gitu.”
“Kamu
bisa ikut kerja denganku,”
“Kalau
bisa, mah, sudah kupakai ijazah sarjanaku dari dulu.”
Kinan
menganga, “Haa? Kamu sarjana?”
“Lalu
menikah. Lalu begini saja.”
Darmanto,
suami Wati, tidak menyukai wanita karir. Baginya, tempat paling sesuai buat
perempuan adalah rumah. Dari situ, Kinan menyadari bahwa hidupnya masih lebih
beruntung dibanding hidup Wati. Sebab, apa yang lebih beuntung dari bisa
menentukan nasib kebebasan hidup sendiri?
Wati
bilang tidak jauh dari tempat kos ada rumah makan soto enak. Harganya juga
murah. Sambil mengenal lingkungan barunya, Kinan menurut. Dicobanya semangkuk
soto ayam berisi nasi, bihun, tauge, suwiran
daging ayam, potongan tomat, potongan daun bawang, dan kuah bening bercita rasa
manis gurih. Dalam balutan rasa lezat di mulutnya, tentu teringat wajah
laki-laki yang paling berhasil kalau urusan berantem dengannya. Pra suka soto.
Ini favoritnya.
Kenangan adalah lorong tanpa ujung. Tiada pernah siapa
pun mengetahui bentuk sebenar-benarnya. Apakah kenangan ialah sejarah? Atau
hanya tumpukan kertas yang sebaiknya dibiarkan berserakan di gudang atau loteng
atau tempat mana pun yang jarang dikunjungi? Tapi kenangan juga bisa merupakan
museum yang dibangun mendadak. Tiba-tiba ada, tiba-tiba tidak ada. Bahkan bisa
muncul di mangkuk mungil soto ayam khas Semarang. Jadi, sebenarnya apa bentuk
kenangan itu? Apakah ia persegi seperti papan catur? Atau ia seperti air yang
mengikuti bentuk tiap benda yang melekat dengannya? Tiada pernah siapa pun
mengetahui, maka bila ada yang menjelaskan bentuk kenangan, pasti orang itu
cuma sedang berdongeng.
“Apa
kau takut mati, Pra?”
“Tadinya.”
“Sejak
kapan jadi berani?”
“Sejak
di rumah duka.”
“Aneh.”
“Nan,
hal paling menakutkan dari kehilangan nyawa adalah mengetahui bahwa ternyata
selama hidup, kita tidak pernah memiliki siapa pun.”
Menerima
atau tidak pendapat Pra yang barusan, Kinan lebih baik tidak membela lagi
argumennya. Dengan Pra hidup tidak akan tentang kemanangan. Lagipula ia tahu
Pra sudah lapar. “Sudahlah, Pra. Kita lanjut saja kapan-kapan. Aku lapar. Aku
ingin cari soto.”
“Aku
juga ingin cari soto, tapi carinya denganmu.”
“Tidak
bisa cari sendiri-sendiri saja?”
“Bisa,
cuma tidak mau.”
“Kalau
sotonya nggak ketemu? Gimana?”
“Soto
bisa dicari lagi, Nan, kalau kamu yang nggak ketemu, itu baru bagaimana?”
“Tapi
suatu hari nanti aku pasti pergi, Pra,”
“Tidak
hari ini, kan?”
Menjelang
magrib, mereka kembali. Pra mengantar Kinan pulang ke indekosnya dengan
mengendarai motor milik Dawan. Di situ Kinan menyadari bahwa sejak dari rumah
duka, sikap Pra agak berubah. Ia jadi sering melamun dan tidak banyak
mengeluarkan pertanyaan seperti biasanya. Kinan tahu bahwa ia sendiri yang
melarang Pra untuk bertanya, ia ingat betul bahwa ia juga yang meminta Pra
untuk diam dan cukup menyaksikan segala hal yang terlihat di sana. Percayakah
ia sekarang bahwa upacara kepergian tidak selalu memaklumi kesedihan?
Pertanyaan
ada apa bukanlah gaya Kinan. Jika memang kebingungan akan membawa Pra pada
kejelasan yang nyata, untuk apa ia menghadiahkannya sebuah pemahaman? Lagipula,
ulang tahunnya sudah lewat tiga bulan. Sekarang sudah masuk bulan Februari,
bulan kesukaan Kinan.
Pra
mengerem motornya mendadak. Melipir ke pinggir jalan, seperti ada sesuatu yang
penting. Pra diam. Kinan menunggu.
“Astaga,
Nan, ini sudah bulan Februari.”
“Sampe
berhenti segala cuma karena itu?”
“Bulan
kesukaanmu!”
Untuk
kesekian kali, Kinan merasa suatu embusan udara yang menenangkan, mengarah ke
dalam hatinya. Betapa ingin ia katakan pada Pra bahwa: Iya, Pra. Benar sekali.
Kita sudah masuk bulan Februari. Bulan kesukaanku. Februari keempat bersamamu.
Aku bahkan tidak tahu mengapa kusebut kata kita dalam paragraf ini. Mungkin
karena denganmu, Februari jadi lebih menyala. Ya. Kamu, kalau kuiibaratkan
sebagai cahaya, mungkin belum seperti matahari, tapi ya cukuplah kalau cuma
untuk sekadar jadi lampu kamar.
Pra
memandang Kinan seolah mengerti. Dia kemudian menyalakan kembali mesin
motornya, dan mengantar Kinan pulang. Ah. Apakah aku bisa seperti Kinan yang
menyukai sesuatu? Sebab, orang sekeras dia pun bisa menyukai sesuatu, walau
sesuatu itu adalah bulan kelahirannya sendiri. Aku hanya sudah lupa rasanya
menginginkan sesuatu. Aku mungkin menyayangi Kinan, tapi aku tidak tahu
pengertian jelasnya apakah ini wujud kasih yang belum pernah kuketahui, atau
cuma rasa senang sebentar yang bisa berakhir kapan saja? Empat tahun aku
mengenalnya, dan cuma di bulan ini kulihat raut wajahnya begitu bahagia. Tapi
aku bukan Februari, Nan. Apa bisa dengan begitu aku membuatmu senang?
“Pra
itu anak yang baik,” kata ibu kos yang sedang duduk di teras, ketika Kinan baru
membuka pagar. Pra memang sudah terkenal di kalangan penghuni kos. Bahkan tidak
jarang yang menitip salam untuknya lewat Kinan, dan biasanya cuma dijawab
dengan, Iya, nanti. Kinan sendiri bukan kurir yang baik dan bisa dipercaya.
Apalagi tidak terbayangkan kalau Pra sampai tahu bahwa banyak yang terpesona
oleh perawakannya yang begitu rupawan. Ah, biasa saja. Rambutnya bau. Jarang
keramas. Kalau makan berantakan. Kalau merokok sembarangan. Dia tidak seperti
yang terlihat.
Ketika
Kinan melihat kota Semarang yang begitu cerah, mendengar percakapan orang-orang
di kerumunan yang tidak ia paham betul bahasanya, entah bagaimana bisa
perasaannya begitu tenang. Untuk hidup dalam ketidaktahuan. Untuk bernyawa
dalam ketiadaan. Jadi ternyata mudah sekali untuk hidup sendirian di bumi,
bukan? Pikirnya sambil melihat motor berseliweran di depan matanya.
“Jadi
gimana rasanya ngurusin orang?” tanya Kinan pada Wati.
“Ya,
kayak kamu bekerja saja. Cuma bedanya, aku merasa senang.”
“Senang?
Aku juga senang walau belum menikah.”
“Yakin
senang?”
Kinan
diam. Ia tahu bahwa ia sendiri bahkan tidak pernah mengenal seperti apa rasa senang
itu. Yang ia tahu semua orang bahagia dan itulah akhir dari tiap cerita yang
dibacanya.
“Nggak
ada waktu mikirin kesenangan, Ti, yang penting aku bisa makan biar nggak sakit
dan uangnya bisa kupakai untuk bayar kos.”
“Memang
belum kepikiran menikah?”
“Ya,
gitu deh.”
“Responmu
biasa saja. Tidak tertarik?”
“Ngurus
diriku sendiri saja gagal begini, gimana ceritanya ngurus orang lain?”
“Ngurus
orang lain kan nggak ada buku panduannya, Nan,”
“Tiba-tiba
bisa aja gitu?”
“Tiba-tiba
terbiasa.”
Keadaan
seperti ini sebenarnya tidak asing buatnya. Sebab hampir semua orang di tempat
ia bekerja sudah menikah. Hal yang sering jadi alasan mengapa ia tidak pernah
mau diajak makan siang bersama. Jelas ia tidak tahan mendengar obrolan yang
tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupannya. Kalau sudah begitu, ia jadi sering
membayangkan betapa mudahnya hidup di tengah laut. Sendirian, tanpa ada realita
atau segala hal yang perlu ia ketahui.
Tapi
Pra selalu bilang, “Sekuat-kuatnya manusia, tidak ada yang tidak ingin pulang, Nan.”
Dan
ini adalah yang dikatakan Kinan ketika itu, “Tapi kan nggak semua orang punya
tujuan untuk pulang.”
“Jadi
hidup harus terus tentang berlari dan kabur-kaburan?”
“Ya…
Kayaknya itu cara paling aman,”
“Aman?
Memang apa yang sedang kamu jaga? Nan, kamu tahu semakin kamu jauh berlari,
kamu nggak pernah ke mana-mana.”
“Aman
dari perasaan berumah dan memiliki, sebab kita nggak punya kendali itu,
terlebih atas orang lain. Aku nggak mau kehilangan, Pra, nggak untuk kedua
kalinya.”
Pra
sebenarnya tidak pernah benar-benar mengetahui seberapa dalam kegelapan di alam
bawah sadar Kinan. Apa yang sebetulnya mengganggu pikirannya, mengapa bisa
dengan begitu rapi ia menata sifat kompleksnya yang berlapis. Sampai-sampai
tidak ada celah yang bisa diisi.
Kinan
hanya selalu berpikir bahwa tidak seharusnya ia melekat pada apa dan pada siapa
pun. Sebab buatnya, kualitas bahagia seseorang tidak dinilai dari siapa
pasangan dan apa tumpu kehidupannya. Padahal, ia cuma sedang membela teorinya
sendiri, yang tidak percaya dengan keberadaan sebuah ruangan yang banyak orang
sebut dengan rasa senang.
“Padahal
kamu bekerja di salon ya, Nan, tapi masih kurang juga buatmu mengerti.”
“Kenapa
jadi dihubungin sama salon?”
“Ya
orang ke tempatmu untuk apa kalau bukan mempercantik diri? Kamu sendiri tahu,
nggak, kenapa kamu sering ditegur sama atasanmu?”
Kinan
memang yang paling sering ditegur dalam urusan penampilan. Ia sebenarnya tahu
cara merias wajahnya, tahu bagaimana mengatur rambutnya supaya lebih menarik.
Lantas tidak ia lakukan, ya, karena ia memang tidak ingin melakukannya.
Sesederhana itu. Kalau bukan karena Rina kenal baik dengan pemilik salon itu,
sudah sejak lama Kinan diberhentikan.
“Kenapa
jatahku jadi manusia harus milik mereka juga, Pra? Mereka bayar aku untuk memberi
pelayanan yang memang di bidangku, bukan untuk mengubah apa adanya aku.”
“Ya
itu aku juga sudah tahu. Maksudku, Nan―”
“Sudahlah,
Pra. Kalau memang tidak suka denganku, kenapa mereka belum juga memecatku?”
Pra
memang tidak bisa membawa dirinya menjadi sosok yang cukup buat Kinan. Tidak
sekali dua kali ia merasa kesulitan ketika harus memposisikan akal sehatnya di
antara hati dan logika Kinan. Benar bila dikatakan Pra ingin Kinan bahagia,
tapi bila harus di antara sekat yang membuat hal benar jadi sesak, jelas tidak
selamanya ia bisa membiarkan hal itu terjadi. Kinan harus bangun dari kebenaran
yang keliru, dari kenyamanan yang salah.
***
Sebenarnya,
menciptakan rasa penasaran terhadap Kinan bukan hal yang sulit. Sifatnya yang
begitu tertutup, raut wajah penuh rahasia, pasti mengundang banyak tanya bagi
siapa saja yang mulai mendengar namanya. Tapi Kinan bukan kembang desa. Ia cuma
perempuan jelek yang kebetulan saja kulitnya putih, bersih, begitu. Ia pasti
tidak akan percaya dengan apa yang sebenarnya orang pikirkan terhadapnya. Siapa
sebenarnya Kinan itu? Seperti apa mukanya? Siapa bapak dan ibunya? Apakah ia
masih sendiri atau sudah bersuami?
Kinan
sendiri tidak begitu peduli bila benar semacam itu isi kepala lelaki yang
dijumpainya. Yang ia pikirkan adalah: Apakah hari ini bisa makan dengan ayam?
Atau hanya sayur dan tempe goreng saja? Mengapa pengering rambut ini tidak
berfungsi?
Buatnya,
angan yang terlalu jauh buat manusia jadi lupa sama kenyataan yang dekat. Itu
sebabnya ia tidak ingin menyusahkan dirinya sendiri dengan menaiki tangga yang
terlalu tinggi, “Yang seadanya saja lah, Pra.”
“Nan,
kamu tuh merasa memiliki hidup dan tubuhmu sendiri nggak sih?”
“Apa
yang terjadi kalau aku bilang tidak?”
“Ya
nggak kiamat juga sih, Nan,”
Pra
tahu bahwa Kinan sendiri tidak tertarik dengan topik hidup bahkan soal kiamat.
Sering terbayang di kepalanya bila suatu saat ada kekuatan sihir yang
mengubahnya menjadi sosok periang, tapi lamunannya itu tidak pernah
terselesaikan karena yang buruk di hadapannya saja sudah membuatnya jatuh
cinta.
“Sedang
di dunianya siapa ya, aku, Pra?”
“Aku
tidak tahu, Nan, tapi kalau kamu mau cari tahu, aku bisa bantu.”
Kinan
tersenyum mengingat kejadian-kejadian itu dalam semangkuk soto ayam khas
Semarang yang sudah habis disantapnya. Aku ini seperti sedang memilah mana
yang akan kumasukkan ke dalam kardus, dan mana yang akan tetap kugunakan di
kehidupanku. Dan, hari-hari bersama Pra mungkin akan kuletakkan ke dalam
kardus dan tidak akan kubuka lagi. Ia bahkan bukan keluargaku, segala hal yang
walau pernah menyenangkan itu pada akhirnya cuma sebuah hal. Ya. Sudah saatnya
meninggalkan. Sudah.
🥺🥰❤
aku tunggu lanjutannya, paus!<3
Pauss kamu keren, terimakasih banyak sudah lahir 🖤
Huaaa suka bgt sm part ini pliz:(
Us kerennn ❤️, lopyuuuuuuuuuuu!
Thankyoou kak tsana buat pengertian atas beberapa hal yg tak ku mengerti
Haloo kak pauus. Tim gercep nih🤙
Aku nunggin Pra dri kemarin tauu😔❤❤
Kita sama wkwk
Lanjut us bab 6😂
PAUS KAMU KEREN SEKALI❤️❤️❤️
tsana, isi kepala kamu adalah mahakarya . terus berkarya , tetap hidup. karena tulisan mu, juga bagian dari pondasi ku untuk tetap hidup.❤️
entah terbaca atau tidak, tulisan kasih sayang pasti akan sampai kepemilik nya. ❤️❤️❤️
setujuuuuu<3
Uss yampun akhirny bab 5 up juga nungguin dari lama,semangat uss!😍
Kak Tsana makasih banyak sudah menulis PRA💓
😭
suka bgttt:(💙
praaa can’t wait for see you on my imagination!
Tsana, semangat nulis nya! Ini gemess bgt si😭❤️
Indahhh sekalii uss, terima kasih telah melahirkan Pra♡
Akhirnya bab 5 Pra up jugaa🤩
Sepertinya masih jadi pertanyaan besar kenapa Kinan jadi sebegitu misteriusnya. Sampai Pra tidak bisa masuk ke dalam dunianya. Dan semua akan terjawab, nanti. Nanti ketika si Paus yang rese sekaligus menyenangkan dalam satu waktu akan menjawabnya..
Butuh langsung baca sampe abis ini, plisss :))
Paus selalu bisa bikin para pembacanya
Duh praaa
campur aduk bgt us, jujur gatau mau ngomong apa:)
Di bab kali ini, dekat dengan kejadian yang penah dialami. Ataupun yang akan dijalani.
teduh rasanya 🙆♀
Keren bgt kk Tsana💙 smoga aku dkasih kesempatan ya untuk ketemu kakak, pngen bgt rasanya.Sukses sllu kk
Karya kk sllu aku tunggu💙🌹
Setiap bab pra selalu berkesan, terimakasih sudah menciptakan pra uss❤
kosong bgt rasanya pas baca, pesannya dalem bgt yaTuhan,sampe ada paragraf yg kudu beberapa kali dibaca ulang buat paham makna tulisannya:)
sejauh ini aku masih merasa sedang berada didunia nya kinan masa, HAHAHA LUVV
Tsana titip salam sayang untuk pra dan kinan😖
lanjut us! 👉👈
akhirnya bisa baca pra lagi, lanjut us!
Pengen baca dr awal tp gatau awalnya yg mana
Akhirnya yg ditunggu terbit juga ka😀
US, UDH NABUNG NI US BUAT NOVELNYA
temen bgt tulisan mu uss. big thanks
Campur aduk us kepala gw,kek isi semamngkok soto.💙💙💙
Kak Tsana, Terimakasih sudah ciptakan sosok Pra♥️🍅
kamu memang ter thebest paus
pra, aku juga mau dibantu mencari tau di dunia siapa aku hidup sekarang
Paus terimakasih sudah ada di bumi:)
Sudah ‘)
Mantapu Jiwa paus😁
segera lanjut part 6 ya us.. btw aku izin save ilustrasi garis2nya ya, kujadiin profil WA ya us, tengkyuuu ❤️
lanjut bab 6 us
❤❤❤
Pra, biarkanlah pikiranmu yang konyol itu, biarkan ia hidup di kepalamu
Entah kamu nyata atau tidak, aku benar melihatmu disini, Pra.
Aa thankyou Uss, bener” udah secinta itu sama Pra:)
Butuh orang lain untuk hidup
kereeen
Lanut bab 6 dong us
Nyesel baru tau Us baru 2 bulan inii😭 Ditunggu Bab selanjutnya Us❤️
Cuma tsana yg nyiptain nama bapak gue diceritanya. Mana pas ditunjukin bapake ketawa lagi us😭😅
Keren bgt😭 g ngrti lgi sama paus😭🥰
Kalo gini suka mikir, ada gak ya manusia seperti pra?
aku tunggu PRA dibukukan❤️
tidak bisa berkata2 lagi:)
Keren😭 aku jatuh hati us😍
Pra buat aku aja deh us:))
halo tsana, terimkasih telah menciptakan tokoh tokoh luar biasa yang tiap kali aku baca sering kali aku membaca diriku sendiri di PRA ini. rumitnya isi kepala dan kehidupan. Tsana aku iri denganmu yang berhasil menyuarakan kepala tentang dunia dan kekhawatiranmu . Tsana aku ingin peluk Pra yang kuyakini bukanlah fiksi tsana. Salam sayang
“Aman dari perasaan berumah dan memiliki, sebab kita nggak punya kendali itu, terlebih atas orang lain. Aku nggak mau kehilangan, Pra, nggak untuk kedua kalinya.”
Selalu penasaran sama isi otaknya paus😩
Halo tsana, aku sudah lama mengagumi isi kepalamu, sungguh menawan. Terimakasih tsana sudah menciptakan tokoh luar biasa yang tiap kali aku baca seperti membaca diriku sendiri di PRA ini. Tsana aku iri denganmu yang begitu berhasil menyuarakan Isi kepala tentang dunia dan ketidaksukaanmu. Aku ingin sekali punya PRA yang nyata yang kuyakini bukan fiksi belaka. Tetap menulis tsana agar abadi .
Tsana, aku ingin ketemu kamu deh❤
duh kinan flashbacknya sama mangkok soto ayam ‘)
Tsan, mungkin aku adalah salah satu manusia seperti Kinan.
bab 6 nya dong uss buruannn!😂
Aaa gatau mau bls apa:(( jgn sampe pra kaya nug:((
Benar apa katanya semesta punya kenyataan yang ternyata bukan inginku
SUKA WOY 💜😭
Semangat trs paus🌹
Di kehidupan selalu ada hal baru yang ngga di sangka sangka, suka banget. LoveUmore us❤
🖤❤️💜♥️
Paus makasih udah nyiptain Kinan, pemikiran Kinan rumit dan sama persis kayak aku. Apalagi Pra, aaaa mau ketemu sosok Pra yang bukan cuma di fiksi
Ntah bagaimana aku sedang berada di posisi pra hanya saja Kinan ku seorang pria yang kini perlahan mengajak kembali, pdhl dia keras kepala. Pra disini kenapa bisa relate sama aku ya(:
Kata kata nya indah tsana. Terus berkarya tsan.
Terimakasih tsana sudah membuat tulisan yg mengubah jalan pikiran ku, selalu berkarya tsan sehat selalu🌻🥰
Can’t wait for this book😭🤩
Kinan dan pra adalah kita semua di dunia nyata, sayang paus😍
Tep lah ,👏👏👏
Paus, terimakasih sudah melahirkan kinan dengan pemikiran rumitnya dan juga kecintaannya pada rumah duka. Ini bukan aku, tapi aku memahami kinanmu, Us. Terus berkarya Paus.
assalamualaikum us.
tolong pra segera dibukukan. pasukan teri mu siap selalu.
sekian, wassalamu’alaikum. 🌹
Lanjut bab 6 dong us🥺
PAUS KAPAN UPDATE LAGIII! AKU SANGAT MENUNGGU….
paus lagi ga baik2-baik aja ya? jangan lupa istirahat ya, pulihin dulu hati, pikiran, dan fisiknya. jangan lupa bahagia
Jangan tinggalin pra:(
segala hal yang walau pernah menyenangkan itu pada akhirnya cuma sebuah hal. Ya. Sudah saatnya meninggalkan. Sudah. (:
Masalah tidak ada yang abadi, semua berubah. Bisa menjadi buruk dan bisa menjadi lebih baik
menyentuh
i’am waitingg 🙂
Us aku nunggu part 6 sambil baca ini berkali-kali dan tetep mengesankan