
BAB 2
“Keana, ini pensi terakhir kita sebelum
lulus, tahun ini kita harus jadi ratunya!” seru Dina bersemangat.
Tiba-tiba aku terdiam, mengingat satu
momen yang pernah terjadi dalam hidupku tahun lalu. Ya ampun, cepat sekali, ya,
setahun? Baru juga tahun lalu aku bertemu dengan sesosok makhluk yang masih
sering masuk ke dalam pertanyaanku, Di mana ya dia sekarang? Masih hidup tidak,
ya? Masih ada di planet ini atau sudah pindah ke planet lain? Masih ingatkah
denganku?
Dina menyikutku, “Heh, kok malah
bengong.”
“Pensi? Aduh Din, kayaknya aku di rumah
aja, deh.”
“Tahun lalu, kamu di barisan paling
belakang dan sekarang kamu bilang mau di rumah?!”
“Aku takut…”
“Ya ampun! Pasti Geez, kan? Harusnya
kamu senang, siapa tahu dia datang! Apa kamu nggak pengen ketemu dia? Aku tahu
kamu kangen, kan, sama wajahnya.”
“Ah, paling-paling dia juga udah lupa
sama aku.”
“Semangat dong, Ke! Kamu belum
bertempur udah mau tidur, lagipula kamu sama dia, kan, juga ketemunya nggak
pernah disangka-sangka, maksudku, ya begitu deh! Sudah ayo masuk jangan sampe
kita kena hukum lagi. Aku lagi malas disuruh berdiri.”
Ipodnya masih kusimpan dengan baik. Sangat
baik. Tidak pernah ada satu hari yang terlewat tanpa mendengar playlist
favoritnya yang ia namai, “Kesukaan Geez”. Kubiasakan untuk mendengar satu lagu
dalam satu hari. Satu lagu itu selalu kuulang-ulang sampai bosan. Ipodnya itu yang
membuatku percaya jikalau suatu saat nanti aku pasti bertemu lagi dengannya
untuk mengembalikan ipod miliknya ini. Setelah langkah terakhirnya kulihat di
depan rumah setahun lalu, aku tidak pernah lagi dengar kabarnya. Sehari setelah
kejadian di kedai es krim, aku tidak bisa berhenti memandangi layar telepon,
berharap ada sms masuk atau entahlah sekiranya ia ingin mengabariku, tapi aku
juga selalu ingat kalau kita tidak sempat bertukar nomor telepon. Tapi, dia kan
tahu rumahku, kenapa dia tidak datang lagi?
***
“Ibu,
Keana sekolah dulu!” Tidak sempat mencium tangan ibu karena lima belas menit
lagi bel masuk berbunyi. Berangkatnya saja diantar abang, karena tidak akan
keburu kalau naik metro mini. Ah, tahu gitu aku kesiangan saja tiap hari biar
diantar abang.
Beruntungnya aku sampai sekolah tiga
menit sebelum acaranya dimulai. Teman-temanku kelihatan sudah berada di
lapangan, mereka terkejut melihatku terlambat.
“Tumben, Ke? Biasanya kamu yang paling
pagi,” kata Hana heran.
“Pasti nggak tidur, ya? Pasti kamu
gugup, kan, mau ketemu si kakak alumni itu? Hayo ngaku!!!” sindir Gizka.
“Ah, enggak!” ketusku sembari berusaha
mengelak.
Padahal iya. Aku gugup. Sudah gugup
dari beberapa hari yang lalu bahkan. Setelah teman-temanku sudah sibuk
menikmati acara, aku langsung cepat-cepat memasang mataku untuk mencari dia,
melihat ke arah sekeliling, tapi sepertinya belum datang karena alumni yang
lain juga belum kelihatan. Belum datang atau tidak dating, ya?
Seakan membaca apa yang sedang aku
pikirkan, April menyikutku, “Udah, nanti juga dia datang kok, Ke.”
Entah kenapa aku jadi resah, cemas akan
sesuatu yang aku sendiri tidak tahu apa itu. Aku hanya mengiyakannya dengan
mengangguk dan sedikit tersenyum maksa.
Haduh. Hampir satu jam dan aku tetap
tak kunjung melihat sepatu converse paling lusuh itu.ke mana Kenapa aku jadi
setakut ini kalau sampai dia tidak datang? Apa aku seingin ini bertemu lagi
dengannya? Aku berjalan menuju kantin untuk membeli es teh di warung Om Gus, mengingat
tiap detail yang terjadi tahun lalu. “Seperti biasa, Kak?” tanya Om Gus
menyadarkan lamunanku.
“Tapi sama sekali tidak pakai gula.”
“Oh,
Kak Keana lagi sariawan?”
Seumur hidup belum pernah aku meminum
es teh tapi tidak manis! Yaa, walaupun biasanya juga cuma setengah sendok gula,
tapi masih terasa manisnya. Dan sekarang, aku minta dibuatkan es teh tanpa
gula. Aku tidak mau yang manis-manis, tidak cocok saja untuk kunikmati di
saat-saat seperti ini.
Baru saja seteguk, mataku tiba-tiba
mengarah kepada serumpunan manusia berseragam putih abu-abu. Jantungku berdegub
lebih kencang dari biasanya, tanganku gemetaran dan mulai keringatan.
Aku melihat Kak Bima dengan jaket
hitamnya, kemudian disusul dengan yang lain. Sampai pada orang terakhir, tidak
nampak hoodie hijau toska dengan
kacamata tebal. Kesimpulanku berujung pada kekecewaan: Geez tidak datang.
Sambil menunduk, aku berpikir. Kok, dia
tidak datang, sih? Aku tahu dia tidak suka acara seperti ini, tapi tidakkah ada
keinginannya untuk bertemu denganku lagi? Mungkin memang akunya saja yang
terlalu geer. Kalau pun dia memang ingin bertemu denganku, sepertinya tidak
perlu menunggu setahun, bukan? Lagipula, kami hanya bertemu dua kali, setelah
itu tidak terjadi apa-apa lagi.
Keana, berhenti bermimpi. Kan kamu
sendiri yang ingin dia lenyap dari bumi, berarti sekarang dia sudah berada di
planet lain, mungkin di Merkurius, Venus atau bahkan hilang bersama Pluto.
Aku memutuskan untuk pulang, anak-anak
yang lain sempat mencegahku tapi mereka mengerti jika aku memang sedang ingin
sendiri sekarang.
“Loh, kok sudah pulang?” tanya seorang
satpam yang menyapaku di gerbang depan sekolah.
“Iya pak, ingin pulang saja.”
“Kenapa? Nggak enak badan ya?”
“Iya nih pak.. Sariawan.”
Setelah memberhentikan metro mini dan
naik ke dalam. Aku memilih untuk duduk di sebelah seorang nenek tua yang kelihatannya
sedang mengantuk. Ingin sekali bisa tidur sekarang juga, supaya tidak
memikirkan banyak hal yang tidak ingin aku pikirkan. Aku tidak pernah memikirkan
sesuatu sampai sepusing ini. Aku lebih baik disuruh menghafal biologi atau
rumus matematika daripada memikirkan hal-hal aneh semacam ini.
Tidak lama setelah metro mininya jalan,
nenek tua di sebelahku berucap, “Kiri, pak!” Nenek itu turun di sebuah mini
market, mungkin ingin beli minyak kayu putih dan roti coklat? Setelah jalan
kira-kira lima belas menit, bisnya berhenti lagi. Aku pindah ke dekat jendela
supaya bisa kena angin karena siang itu benar-benar terik sekali, gerah. Hatiku
tidak bisa berhenti mengoceh.Ke mana
“Kok kabur dari pensi nggak ajak-ajak
aku?”
Aku menoleh ke arah suara yang mengajakku
bicara, ia duduk persis di sebelahku, membangkitkan bulan sabit yang dari tidur
di mulutku, “Geez?”
“Kenapa cemberut? Ann mau apa?”
tanyanya lembut sambil menyerongkan tubuhnya supaya bisa mendangiku dengan
jelas.
“Kok, Geez di sini?”
“Waktu aku lihat kamu ingin pulang, aku
jadi ikut pulang.”
“Loh, tadi kamu datang?”
“Iya, nggak lihat, ya? Tadi aku makan
bubur ayam dulu di depan, Bima dan anak-anak yang lain memang masuk duluan.”
Aku tercengang. Duh, Keana, coba saja
tadi kamu bisa lebih sabar sedikit. Pasti kamu sedang nonton pensi berduaan
dengan dia di barisan paling belakang.
“Kamu sendiri, kok, pulang?”
“Bosan, aku tidak suka acaranya, bikin
ngantuk.” Bohong deng, sebenarnya karena tidak ada kamu.
“Terus, sekarang kamu mau ke mana?”
tanyanya padaku.
“Mau pulang.”
“Tidak boleh.”
“Tapi ini sudah dekat rumahku, Geez.”
“Iya, aku tahu.”
Awan mendung dalam hatiku tiba-tiba
saja menerbitkan matahari yang cerah, senyumku yang tidur kini sudah bangun, “Lalu?”
Aku dan dia turun tepat ketika
pertanyaanku ia dengar, kami menyeberang dan ia menggandeng tanganku. Tolong
jangan tanya seperti apa kondisiku, karena abstrak sekali, kapan-kapan aku
jelaskan. Tapi tidak sekarang, karena sedang genting sekali.
“Kamu apa-apa nggak kalau jalan kaki?
Dari tadi nggak kelihatan ada bajaj lewat, soalnya motorku masih di Bima,”
katanya.
“Jauh, ya?”
“Jauh… tapi jalan kakinya sama aku
jadinya nggak jauh,”
Akhirnya kami jalan kaki, entah mau ke
mana karena sejak turun Geez belum juga beri tahu aku. “Geez ini kamu mau bawa
aku ke mana?” Ini adalah pertanyaan yang sama yang sudah kutanyakan seribu kali
padanya. Mungkin Geez memang tidak suka menjawab pertanyaan orang. Setelah
setengah jam, kami berhenti di depan sebuah kios, “Toko bunga?”
“Kamu suka bunga?”
“Bunga?” tanyaku lagi karena masih
belum mengerti kenapa ia bawa aku kesini.
Dia masuk dan aku ikut
keliling-keliling. Cukup banyak macam bunga, ada mawar, anyelir, tulip dan
lily. Tidak lama setelah itu, Geez menghampiriku dengan membawa tiga tangkai
bunga lily yang dibungkus rapi nan cantik, “Ini untuk yang ngantuk di pensi dan
mau pulang.”
“Bunga lily?”
“Bunga yang sangat menggambarkan kamu.”
“Masa? Sejak kapan wajahku mirip
tumbuhan?”
“Harusnya kamu tanya kenapa, Ann.”
“Kenapa wajahku mirip tumbuhan?”
Dia tersenyum, mengajakku duduk di
bangku di depan kios. “Bunga lily itu bunga musim panas, kamu nggak akan bisa
nemuin dia kalau musim hujan atau musim salju. Itu kenapa aku bilang, bunga
lily itu bunga yang ceria, seperti kamu.”
Baiklah perkataannya mulai membuatku
geer.
“Itu yang pertama, kedua, bunga lily
punya bentuk yang menarik. Makanya, orang akan betah memandangnya bahkan dalam
waktu yang lama.”
Baiklah, aku geer. “Sudah…?”
“Yang ketiga, bunga lily sering
dilambangkan sebagai simbol ketulusan, persis sekali kayak kamu.”
Kalau sekarang aku lihat di cermin,
pasti pipiku sudah berubah merah, “Aku nggak tahu kalau aku seperti yang kamu
bilang.”
“Itu sebabnya kamu ketemu aku.”
“Untuk apa?”
“Untuk buka matamu kalau semua orang
ingin sekali jadi kamu.”
“Ingin jadi aku? Supaya apa? Supaya
bisa kamu samakan dengan tumbuhan?”
Geez menggelengkan kepalanya, heran
mungkin, “Tahu tidak, bunga lily yang cantik saja kalah tulus denganmu.”
Ia tersenyum. Harus, ya, Tuhan
menitipkannya senyuman semacam itu? Apa ada senyuman lain yang lebih indah dari
punyanya di dunia ini? Ah, tidak ada sepertinya. Kalau dia sedang tersenyum,
lesung pipinya pasti kelihatan.
“Kamu bisa ya, kelihatan misterius dan
menyenangkan dalam satu waktu,” ujarku.
“Masa sih? Kamu orang pertama yang
bilang aku menyenangkan. Rata-rata orang bilang aku pendiam dan tidak suka
berhubungan dengan dunia luar.”
“Mungkin karena mereka tidak pernah
kamu samakan dengan tumbuhan.”
Ia tertawa kecil, “Ann… Ann…”
“Kenapa, aku salah ngomong, ya?”
“Sangat benar makanya aku malu sampai
ketawa.”
“Mereka salah, ya. Dina saja tidak percaya
kalau kamu bisa ngomong. Apa kamu emang beneran nggak suka ngomong?”
“Loh, ini kan aku sedang bicara
denganmu dari tadi.”
“Ya, denganku saja. Soalnya kata Dina
kamu tidak suka bicara dengan anal perempuan di kelas dan di sekolahmu, apa
benar?”
“Oh itu, kalau itu benar. Perempuan
yang selama ini aku ajak bicara hanya bundaku.”
Aku menelan ludah. Aku buru-buru
menganggap diriku ini bukan perempuan. Aku tidak mau geer.
“Oh, gitu ya,” kataku berusaha tidak kelihatan
gugup.
“Tapi sekarang bertambah satu
perempuannya, kamu.”
“Ann,
mau es krim?”
Aku cuma bisa mengangguk. Kami naik
bajaj menuju kedai Mas Danu. Terlihat sekali keringat yang mulai keluar dari
wajahnya. Kacamatanya terlihat kotor, alisnya merengut karena terkena silaunya
matahari. Wajahnya adalah pemandangan terindah yang aku lihat sejauh ini,
bahkan aku senang dengar suaranya batuk karena asap bis. Tuhan, bagaimana bisa
Engkau ciptakan sesosok makhluk yang lebih indah dari semua lukisan yang pernah
ada. Boleh tidak kalau aku pulang dan kupajang di dinding kamar? Sayangnya
dia tidak mau aku bawa pulang, tidak bisa, tidak boleh.
“Geez, kamu percaya nggak kalau aku
bilang belum pernah makan cokelat seumur hidupku?”
“Maunya tidak percaya, tapi aku tahu kamu
tidak bisa berbohong.”
“Harusnya
kamu tanya kenapa, Geez,” jawabku.
“Iya, deh. Kenapa, Ann?”
“Karena tidak suka.
Kan, aku sukanya rasa
green tea.”
“Kenapa green tea?”
“Karena bisa buat hati menjadi merasa
tenang dalam situasi sepanik apa pun,”
“Oh iya? Nanti kapan-kapan aku coba,
kalau nggak mempan kamu harus tanggung jawab, ya?”
“Kalau harus tanggung jawab
macam-macam, aku nggak punya apa-apa,”
“Memang kamu kira aku minta kamu
tanggung jawab pakai apa?”
“Pakai es krim yang lain?”
“Bukan. Tanggung jawab dalam bentuk
kamu menemuiku, karena dengan ketemu kamu kecewanya jadi hilang.”
Aku menyeru sambil memukul lengannya, “Ish!
Don’t mess with me like that!”
“Mess
with you? Mana mungkin aku berani main-main sama kamu.”
***
Jam tanganku sudah menunjukkan pukul
setengah enam, waktu cepat sekali berlari kalau sedang sama dia. Pipiku sampai
pegal karena selalu dibuatnya tertawa.
“Geez, aku harus pulang sudah mau
gelap, ibuku pasti nyariin.”
“Tunggu ya, motor balapku sebentar lagi
datang.”
Aku menahan tertawa. “Motor balap
paling ngebut di dunia itu, ya?”
Tidak lama setelah itu, Kak Bima datang
dengan vespa paling ajaib, “Nih, Ge,” lalu menengok ke arahku, “Eh, Keana, kok
nggak datang ke pensi tadi? Seru loh,”
“Tadi datang kak, tapi aku pulang
duluan.”
Kak Bima duduk di sebelahku, “Hmm.. Ke,
Dina tuh naksir gue, ya?”
Aku sampai tersedak, “Kok, kakak bilang
gitu?”
***
Setelah berbincang singkat dengan Bima,
Geez mengantarku pulang. Tapi, baru seperempat perjalanan hujan turun langsung
deras tanpa gerimis dulu, “Hujan, Ann!”
Akhirnya kami menepi di sebuah warung,
bajuku basah. Aku menengok ke arah sepatuku yang sudah terendam genangan air,
lalu melihat ke langit yang sepertinya belum mau menghentikan hujan. Gelap
sekali, petirnya bersuara kencang. Sebenarnya aku takut petir, tapi aku tidak
mau ketahuan Geez. Masa iya aku secemen itu.
Tubuhku sudah mulai kedinginan, karena
anginnya juga cukup besar. Walaupun sudah menepi tetap saja hujannya terbawa
angin, jadi tetap membasahiku.
“Ini, Ann. Untuk membantu menghangatkanmu,”
kata Geez yang muncul dengan membawa secangkir teh manis hangat. Aku tersenyum
sambil memegang cangkir tehnya dengan kedua tanganku. Geez tiba-tiba juga
memegang tanganku. Semesta, mungkin saat ini jantungku sudah copot, aku tidak
bisa lagi merasakan apa-apa, “Jari-jarimu sudah mulai membiru, sini aku bantu
supaya birunya pindah ke jariku,” katanya.
“Maaf ya, Ann, selalu buat repot.”
“Untungnya aku senang direpotin kamu,”
jawabnya sambil tersenyum, “Oh iya, tahun ini kamu lulus SMP, ya?”
“Iya, kalau Geez lulus SMA, ya?”
“Kita sama-sama lulus berarti, kamu mau
SMA di mana?”
“Di Jogja.”
“Loh, kok jauh? Kenapa nggak di
Jakarta?”
“Jenuh aja kak, ingin cari suasana
baru, teman baru, pengalaman baru.”
“Di sana tinggal sama siapa?”
“Sama eyang. Kalau Geez mau ke mana?”
“Maunya sih di sini aja, tapi
kemungkinan besar aku menyusul kakakku ke Berlin.”
Aku terkejut benar-benar terkejut, “Berlin?!”
***
Setelah menunggu satu jam sambil
membicarakan banyak hal dengannya, aku pulang karena hujannya mulai reda. Ketika
sampai depan rumah, wajahnya kelihatan sangat lelah sekali. “Kalau besok Geez
sakit, aku janji akan tanggung jawab, kok.”
“Sakit aja deh, supaya ketemu kamu
lagi,” katanya meledek.
“Ini bukan yang terakhir kan, Geez?”
“Ann, seperti yang selalu kubilang,
kita pasti akan ketemu lagi.”
“Ipodmu? Ada di dalam, aku ambil dulu
ya?”
“Jangan, nggak usah. Untukmu saja.”
Mau dong ipodnya wkwkkwkw
ok baper
Asik bgt, dari dulu pingin beli bukunya tapi ga kesampean, tapi ada yg janggal kak, tadi katanya bunga lily tumbuh di musim panas, tapi td kok tiba2 hujan deres, wwqwqqwq rada nge ganjel disitu sih thanks
Ga kuat bacanyaaa
Ga kuat bacanya:(((
mau bawa pulang geez :(((
baper tapi udh tau end jadi campur aduk antara mo baper sama sedih ahahah
Di daerah saya gitu kok, yaa namanya juga indonesia cmn ada 2 musim, itu juga suka gjelas, kadang panas bgt pdhl lg musim hujan, kadang juga hujan terus pdhl lg musim panas
Uhuyyyyy😍😍
Seneng banget, padahal yang ngerasain ann bukan aku tapi kenapa aku yang senang??
Herman🤭🤣
Tadinya gamau baper karena udah tau endingnya
Tp knp jd baper lagi 😭